Anggel menarik napas panjang. Matahari pagi masih malu-malu muncul di balik pepohonan, tapi kakinya sudah melangkah melewati jalan tanah yang sedikit becek habis hujan semalam. Di tangannya, ada nampan besar berisi kue-kue basah buatan ibunya. Sudah jadi rutinitas, tiap pagi keliling desa jualan, dari satu rumah ke rumah lain.
Hidupnya sederhana. Tapi Anggel nggak pernah mengeluh. Hidup di desa kecil, jauh dari keramaian kota, sudah cukup buatnya. Lagipula, ia punya mimpi kecil—suatu hari bisa buka toko kue sendiri, biar nggak keliling terus-terusan.
Tapi pagi ini agak beda.
Di ujung jalan desa yang biasanya sepi, ada seorang laki-laki berdiri. Penampilannya nggak seperti warga desa pada umumnya. Jaketnya bersih, sepatunya kayak baru, dan wajahnya… ya bisa dibilang ganteng. Tapi tatapannya kosong. Seperti orang yang kehilangan arah.
“Mas, mau beli kue?” tanya Anggel, pelan.
Lelaki itu menoleh. Sekilas terkejut, lalu tersenyum kaku. “Boleh. Yang ini satu ya.”
Suaranya dalam. Rada berat, tapi sopan.
Anggel menyerahkan kue ke tangannya. “Baru di sini ya, Mas?”