Beberapa hari setelah pertemuan pertama itu, Bayu dan Anggel mulai sering bertemu. Kadang cuma sekadar menyapa saat Anggel lewat depan rumah kontrakan Bayu. Kadang Bayu sengaja beli dua atau tiga kue, padahal dia belum tentu makan semuanya.
Mereka ngobrol, kadang lama, kadang cuma sebentar. Tapi bagi Bayu, itu jadi bagian paling menyenangkan dalam harinya.
“Mas Bayu, ini aku bawain bolu kukus. Ibu bikin banyak tadi pagi,” ucap Anggel sambil menyodorkan wadah plastik kecil.
Bayu menerimanya dengan senyum lebar. “Wah, aku jadi sering dapat jatah manis, nih.”
Anggel tertawa kecil. “Soalnya Mas-nya baik. Jarang ada pendatang yang ramah gini.”
Bayu cuma tertawa pelan, padahal dalam hati dia merasa sedikit bersalah. Ramah? Dia bahkan belum jujur soal siapa dirinya.
Sebenarnya gampang aja buat dia bilang, “Aku CEO perusahaan X, aku punya rumah mewah, dan mobil lebih dari satu.” Tapi Bayu tahu, kalau dia ngomong gitu, semuanya bakal berubah. Cara Anggel memandangnya, cara orang-orang desa memperlakukannya. Dia nggak mau itu terjadi.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia merasa dilihat bukan karena jabatan, kekayaan, atau koneksi. Tapi karena dirinya sendiri.