“Haruskah aku pergi?” bisik Ros yang hanya didengar oleh telinganya sendiri. Gemuruh di hati semakin kuat, menolak keputusan yang telah dipertimbangkan semalam suntuk.
Usai perbincangan alot kemarin, tak sekejap pun ia sanggup memejamkan mata. Tak ada kantuk yang datang mendera, memikirkan banyak hal yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Bahkan, dia masih tidak percaya saat bibirnya berucap “iya” di depan perwira Kempeitai yang menemuinya pagi ini.
Tuan Yamamoto sudah mendapat pesan dari pria kepercayaannya semalam. Saking senangnya, pagi-pagi buta dia datang seorang diri ke kediaman Rosiana. Tujuannya hanya satu, memastikan bahwa niat baiknya untuk memperistri si dokter muda benar-benar sudah diterima.
“Kita akan berangkat secepatnya. Kemasi barang-barangmu,” ucapnya dengan bahasa Inggris semampunya, yang tentu saja membuat sakit telinga. Senyum lebar menghiasi wajah tampannya. Siapa saja pasti akan jatuh cinta. Tapi, tidak bagi Rosiana.
Menatap pria itu tak ada bedanya dengan melihat sebatang kayu, tidak ada perasaan apa pun. Hampa. Ingatannya justru berkelana, memikirkan pertemuan pertamanya dengan seorang pria yang menjadi penyambung lidah mereka. Tjandra Hadikusuma.
“Nama saya Tjandra. Saya harus bertemu dokter sekarang. Darurat.” Suaranya terdengar begitu jelas karena kediaman yang ditempati Ros berdinding kayu. Rumah sederhana yang cukup dekat dengan kamp tempatnya bekerja sekarang. Ah, bukan bekerja, lebih tepatnya berderma karena sedikit sekali uang yang didapatkan di sana. Tapi, itu tak menghalangi ketulusan hatinya untuk menolong sesama.
“Nona baru pulang dari kamp. Beliau sedang istirahat. Lagi pula hampir tengah malam, kembalilah berobat esok hari, Nak,” ucap pelayan, berusaha menolak secara halus permintaan tamu yang tidak dikenal. Meski begitu, ia menaruh hormat pada pemuda 25 tahun di hadapannya.
Setelan pakaiannya rapi, lengkap dengan ikat pinggang yang melingkari perut. Tubuhnya tegap, berdada bidang, dan tatap mata yang sipit terlihat tajam. Sekilas pandang Tjandra mirip tentara Nippon yang berlalu lalang sambil memanggul senjata, tapi anggapan itu terbantahkan karena dia tidak membawa apa pun di tangannya.
Diamati lebih jelas, wajahnya lebih mirip pemilik toko serba ada di ujung jalan. Wajah-wajah kaum Tionghoa, para pengusaha yang tetap bisa menjajakan dagangannya di masa sulit seperti sekarang ini.
“Jika tidak membawa dokter kembali, saya tak akan lagi bernyawa.” Pernyataan pemuda itu mengembalikan kesadaran lawan bicaranya.
“Carilah dokter yang lain!” Pelayan rumah itu masih bersikeras menolak. Dia tidak mengizinkan siapa pun menemui nona yang masih lelah.
Perdebatan terus berlanjut, masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya. Hal itu tak ayal sampai ke telinga Rosiana yang baru merebahkan tubuhnya lima menit lalu.