“Bagian mana yang sakit?” tanya Ros, menghadap pasien yang terkulai lemah di atas ranjang.
Tangan Ros dengan terampil memindahkan stetoskop dari dada kanan ke sebelah kiri, mendengar detak jantung pasien seperti biasa. Wajah Yamamoto pucat pasi, keringat dingin membasahi kemeja. Bahkan dia masih menggigil saat mulai diperiksa.
Ros tak banyak bicara, selain karena tidak paham bahasa pasiennya, juga karena sebagian egonya tidak terima. Jujur saja, dia benci para komplotan pria ini yang sekarang menguasai Hindia Belanda di setiap sudut wilayah.
Mereka berhasil melumpuhkan Belanda, membuat rekan-rekan ayahnya menyerah tanpa syarat dan kembali ke negaranya. Dia juga memiliki kesempatan itu, tapi cintanya pada tanah air lebih besar dan mengalahkan segalanya.
“Tuan mengeluh sakit di bagian perut, diare, mual dan muntah. Kepalanya juga terasa berputar. Beliau panas dingin dan berkeringat banyak saat malam hari,” terang Tjandra saat Ros bertanya.
Pikiran jahat Ros berbisik agar membiarkan Yamamoto mati saja. Mungkin dengan jalan itu penderitaan rakyat sedikit berkurang. Tidak ada lagi pria yang membentak-bentak mereka sambil menodongkan sepucuk senjata laras panjang.
“Tolong selamatkan Tuan. Berapa pun biayanya tidak masalah.”
Lagi-lagi Ros mengembuskan napas kasar dari hidung. Dua kalimat yang diucapkan Tjandra membuatnya berang. Rahangnya mengerat, mengingat kebodohannya yang tidak bertanya dulu siapa pasiennya.
Pakaian yang dikenakan perwira tinggi ini berwarna putih bersih, juga ranjang empuk dengan aroma bunga melati yang harum menjadi alas tidurnya. Sekilas tak tampak penderitaan di sana.
Puluhan atau bahkan ratusan pasiennya di kamp lebih memprihatinkan dibanding keadaan Yamamoto. Tubuh mereka kurus kering, kurang makan berbulan-bulan. Sejak kekuasaan Belanda diambil paksa, penderitaan rakyat semakin terasa. Dan tentu saja jumlah pasien semakin banyak.
Kamp tawanan yang kebanyakan dihuni orang-orang berdarah campuran sepertinya, kini penuh sesak bercampur dengan pribumi yang entah dari mana datangnya. Berpuluh nyawa sudah terbuang sia-sia karena ketiadaan obat dan tenaga medis untuk mengurus mereka. Malam-malam yang kelam menjadi saksi penderitaan negeri ini.
“Tuan saya sakit apa, Dok?” Suara Tjandra kembali terdengar tiga detik setelah pria asing itu bersuara lirih, mempertanyakan keadaannya.
“Dari gejala awal yang terlihat, saya menduga dia terkena malaria. Penyakit yang juga diderita oleh ratusan rakyat negeri ini. Beberapa dari mereka akhirnya meninggal karena tidak ada obat. Mungkin hal yang sama akan terjadi pada tuan Anda.” Suara Ros datar dan dalam, tak memperlihatkan ekspresi apa pun.
“Mararia?” ucap pria itu dengan logat bahasa yang terdengar begitu menyebalkan. Meski dia tidak memahami seutuhnya kalimat yang Ros ucapkan, tapi dia menangkap kata malaria yang diketahuinya banyak menimpa orang-orang di luar sana.
Rentetan kata yang tak Ros mengerti terucap detik berikutnya. Dia tidak tahu, dan memang tidak ingin tahu. Satu yang pasti, Tjandra akan menjadi penyambung lidahnya nanti.