“Hana, kemarilah,” pinta seorang wanita, melambaikan tangannya pada gadis yang sedari tadi berdiri diam memperhatikan kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Tubuhnya yang tak lebih dari 154 cm menoleh, menatap sang nenek yang duduk diam di atas kursi.
Suasana senja di taman Nishi tampak sepi. Hanya ada satu atau dua orang di sekitar mereka, sama-sama menikmati keindahan musim semi yang sebentar lagi berakhir. Udara malam di Fukuoka berubah menjadi sangat dingin, hampir mencapai 10 derajat Celsius, membuat orang-orang enggan berdiam di luar rumah.
Namun, hal itu sepertinya tak berlaku bagi dua insan berbeda usia yang kini berbagi tempat duduk yang sama. Hana dan Rosiana. Hati keduanya lebih dingin dibandingkan suhu udara di sekitar mereka. Sama-sama hati yang kehilangan cinta.
“Masih belum melupakannya?” Rosiana menggenggam jemari Hana, seolah ingin memberi kehangatan yang ia sendiri tak punya.
“Aku tidak akan pernah lupa. Aku pikir dia mencintaiku. Ternyata ....” Hana menggigit bibir bawahnya, menahan luapan emosi yang kembali mengaduk-aduk perasaan. Dia bahkan tidak bisa melanjutkan kalimat di bibirnya. Pernikahan yang diimpikan kandas sekejap mata setelah seorang wanita mengaku dihamili oleh calon suaminya.
“Tidak, Sayang. Jangan menilai buruk pada semua orang hanya karena seseorang menyalahi kepercayaanmu.” Suara Ros lirih, namun masih terdengar oleh telinga Hana. Perangainya yang lembut dan penuh kasih sayang, membuat siapa pun nyaman bersamanya.
“Obaa-chan, jangan membela mereka! Keyakinanku masih sama. Semua pria sama saja. Ayah juga mengkhianati ibu. Dia bahkan tidak datang saat pemakamannya!” Suara Hana sedikit meninggi, mengingat biduk rumah tangga orang tuanya yang harus berakhir karena kedatangan wanita lain. Sosok yang membuat ibunya harus mengalami derita dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
Ros menarik cucunya ke dalam pelukan, membelai punggung gadis itu dengan penuh cinta. Hatinya kembali tersayat, mengingat kepedihan Hana yang kini hanya hidup sebatang kara bersamanya. Tak ada sanak saudara, juga orang tua. Entah bagaimana kehidupan gadis ini nantinya jika ia tiada.
Bulir hangat keluar dari mata indah Hana, tapi segera Ros hapus setelah mencium pipi cucu kesayangannya.
“Hentikah tangismu. Terlalu berharga membuang waktu untuknya. Fokuslah pada apa yang ada di depan kita. Percayalah Tuhan akan memberi sesuatu yang lebih indah.”
Dua kali anggukan kepala terlihat, bersamaan dengan perasaan yang terasa sedikit lebih baik.
“Bersyukurlah karena semua terjadi lebih awal. Jika wanita itu datang di hari pernikahan kalian atau bahkan setelah kalian menikah. Apa yang akan kamu lakukan?”
Hana kembali menggigit bibir bawahnya, semakin kuat menahan genangan air yang membuat mata berkaca-kaca. Apa yang Ros ungkapkan benar. Jika wanita hamil itu muncul di hari pernikahan, mungkin nasibnya akan sama seperti sang ibu. Karena tak sanggup menahan malu, mengakhiri hidup yang akan dipilihnya sebagai jalan keluar.
Angka bunuh diri di Jepang semakin tinggi akhir-akhir ini, senada dengan data yang dirilis lembaga terkait setiap bulannya. Dan yang lebih membuat Hana terenyak adalah kenaikan korban bunuh diri wanita yang cenderung naik 15% dibandingkan bunuh diri yang dilakukan oleh pria. Begitu menderitakah mereka sampai tidak ragu meregang nyawa?
“Hana ....” Suara Rosiana mengembalikan kesadaran gadis yang terdiam tanpa suara beberapa menit lamanya. Dia masih belum bisa merelakan kepergian sang ibu. Dan sekarang, luka lain mengadangnya, kehilangan orang yang dicinta.
“Mungkin kamu berpikir kalau semua pria sama saja, hanya mementingkan keinginan mereka sendiri. Tapi, itu tidak benar. Jika semua pria seperti itu, aku tidak pernah menjadi nenekmu.”