Cinta di Bawah Langit Hitam

Muhaimin El Lawi
Chapter #1

Prolog

Prolog


“Peace cannot be kept by force; it can only be achieved by understading”

~Albert Einstein


Jakarta, 1998

Berkali-kali dia pastikan bahwa jendela kamar ini benar-benar terkunci. Dia pandangi jalan kosong yang tampak remang-remang dari kaca jendela yang agak buram. Penampakan di luar diarsir oleh garis-garis kotak tralis baja yang kokoh. Tangan kanannya masih menyentuh kancing besi dengan penuh getaran dan terlintas sebuah ilusi yang membuatnya makin gelisah. Hatinya gamang. Bagaimana jika tiba-tiba orang tak dikenal mencongkel jendela? Atau tiba-tiba sebuah peluru menembus kaca dan menyasar ke dahinya? Atau jika muncul segerombolan menakutkan menggedor-gedor bangunan ini? Atau tiba-tiba rumah ini terbakar dan api mengepungnya sampai tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dilalap kematian?

Dia tepis kegelisahan dengan memalingkan tubuh dari penampakan itu, lalu menuangkan air pada gelas di atas meja di pojok kamar. Pikirannya sedikit cair ketika aliran air mengaliri kerongkongan dan menyuntikkan energi baru. Ketika menaruh gelas, tiba-tiba matanya tersangkut pada selembar surat kaleng yang tergeletak di laci yang sedang terbuka. Surat misterius yang tadi sore dia temukan menempel di bibir jendela yang sedang terbuka.

Kedua tangannya mengepal, otot-ototnya tegang hingga buku-buku jarinya memutih. Giginya gemeretak dan dadanya bergemuruh seperti badai yang sedang berkecamuk. Dia meraih surat itu, meremasnya dengan begitu keras hingga kertasnya robek, serpihan kecilnya jatuh ke lantai. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi leher dan punggungnya. Siapa pengirim surat ini? Apakah dia yang telah bertindak lebih kejam dari binatang buas? Mungkinkah iblis yang menyamar sebagai manusia, menghancurkan harapan orang lain dengan begitu mudah? Matanya berkedip cepat, menolak air mata yang mulai menggenang. Tubuhnya bergetar, ingin menjerit, tapi hanya keheningan yang keluar dari mulutnya yang terkatup rapat. Napasnya tersengal-sengal. Setiap tarikan terasa berat, membiarkan teror itu menyelubunginya.

Lihat selengkapnya