Cinta di Bawah Langit Hitam

Muhaimin El Lawi
Chapter #2

Ibu, Qim dan Situasi Politik yang Kacau #1

#1

Ibu, Qim dan Situasi Politik yang Kacau


Gion menaruh panci berisi susu kambing di atas tungku tua yang terbuat dari tanah liat. Tangannya yang lemah dan gemetar menyurukkan kayu rapuh seukuran lengan ke dalam api. Kobaran api mulai menari, menyelimuti bagian bawah panci dengan panas yang perlahan menguarkan uap. Di dapur sempit dengan dinding anyaman bambu yang sudah mulai lapuk, dia duduk di kursi kayu, memandangi api yang menjilat-jilat, dihempas oleh angin malam yang masuk melalui celah-celah dinding.

Plek!

Seekor cicak jatuh tepat di atas kakinya. Gion tersentak, menatap cicak itu yang segera berbalik dan berlari lintang-pukang di atas lantai tanah cokelat gelap, menuju ke tembok bambu. Dia hanya bisa menghela napas, membiarkan cicak itu mendaki kembali anyaman bambu yang rapuh. Ada kepercayaan lama di benaknya; firasat buruk di balik jatuhnya cicak. Pikirannya langsung melayang pada ibu, yang sedang terbaring melawan kanker di kamar.

Perhatiannya segera beralih ke panci di atas tungku yang sudah agak lama dia biarkan. Asap tipis mulai menyeruak dari mulut panci, menguar aroma khas yang menjalari hidungnya. Susu di dalam panci sudah meletup-letup dan mulai menumpahkan busa ke permukaan tungku. Dengan terburu-buru, dia mematikan api yang berkobar. Kemudian, menuangkan susu kambing alami itu ke dalam gelas di atas meja. Dengan taburan satu sendok gula, dia mengaduk cairan putih itu.

“Giooon…” rintih ibu dari dalam kamar. Dia tinggalkan susu panas itu. Kakinya melangkah cepat menuju arah rintihan. Dia singkap kelambu dengan tangan gemetar. Dia temui ibu sedang duduk bersandar pada bantal yang diberdirikan menempel pada sandaran kasur, sembari mengerutkan dahi dalam pejaman mata. Gion merasa tersayat-sayat hatinya manakala melihat aliran air mata di pipi perempuan paruh baya itu. Bibirnya dikatup oleh gigi bagian atasnya. Di sela-sela itu, nama “Gion” selalu keluar dari ucapannya.

“Iya, bu!” segera dia menjawab, tanpa ada tanggapan dari ibu. Dia hanya berdiri terpaku memandangi perjuangan ibu menahan sakit. Matanya memejam dan bibir terbuka dengan gigi atas bawah mengatup keras. Kepala botaknya menampakkan kerutan kulit kepala akibat ketegangan seluruh sarafnya. Tanpa mendapatkan pesan apa-apa hingga dalam waktu sekitar lima menit, Gion beranjak kembali ke dapur untuk melanjutkan adukan susu mendidih di atas meja. Lalu membawanya kembali ke sisi ibu.

“Susunya diminum, Bu!” Ia mencoba menyela di tengah upaya ibu menahan sakit.

Perlahan, mata ibu membuka dan kerutan keningnya mendatar. Gion menuangkan susu ke lepek dan mendinginkannya sejenak. Lalu dengan hati-hati, dia menjulurkannya ke bibir ibu yang agak gemetar. Hanya inilah yang bisa dia beri setelah selama beberapa hari ibu mulai kesulitan menelan nasi. Sesekali ia menyuapi bubur atau kadang membuatkannya jenang beras.

Gion memerhatikan gerak-gerik ibu. Sepertinya sakit yang menyiksa perempuan perempuan itu sedang mereda. Terlihat, seruputan demi seruputan susu berjalan lancar, hingga habis tanpa sisa. Tak biasanya langsung begitu.

“Ibu harus melanjutkan perawatannya di rumah sakit!” ucap Gion pelan.

“Kita tak punya apa-apa, Cong!” lirih ibu terbata-bata dengan suara yang hanya bisa didengar jika dalam jarak yang sangat dekat. Gion mendekatkan wajahnya. Lalu ibu melanjutkan ucapannya yang terbata, “Di rumah sakit, kita tidak tidur secara gratis.”

“Aku akan kerja dulu, Bu,” ucap Gion dengan pandangan mata kosong. Dia belum tahu pasti apa yang akan dia kerjakan.

Ibu tertegun. Matanya berkaca-kaca. Lalu air mata yang baru saja berhenti mengalir kembali. Gion menggerakkan tangannya untuk mengeringkan buliran bening itu. Ibu segera menangkap tangan Gion.

“Yon! Adikmu, Zahra bagaimana?” Ibu mengalihkan pembicaraan.

“Sudah kukirimi uang lewat pos tiga hari yang lalu. Kambing betina di kandang terpaksa aku jual untuk kirimannya, Bu.”

Ibu kembali termangu, mengedip-kedipkan matanya yang selalu memaksa untuk basah.

“Dia tidak tahu keadaan saya kan?” tanya ibu.

“Tidak, bu.”

“Untuk saat ini, dia tidak boleh tahu,” lirih ibu lalu berhenti sejenak sebelum kemudian melanjutkan lagi, “adikmu cerdas, Yon! Kuharap dia bisa jadi dokter. Dokter yang mampu mengobati sakitnya orang-orang yang menderita kanker.” Dengan penuh penghayatan, kata-kata itu melata agak tersendat-sendat.

Gion merasa bahwa seluruh bulu romanya berdiri. Diiringi air mata membayangkan betapa sakit yang dirasakan oleh perempuan itu. Oh, ibu!

“Kanker itu sakit, Nak. Orang-orang yang menderita kanker pasti merasakan penderitaan sesakit ini. Kelak, salamkan apa yang saya rasakan ini pada adikmu. Adikmu akan jadi dokter.” Ibu masih bergumam, membuat hati Gion makin terkoyak-koyak dan membuatnya ingat pada dendam lama yang masih dia simpan sejak kecil. Dendam yang membuatnya ingin masuk dunia aktivis untuk mengusut perihal kematian ayahnya yang hingga saat ini belum mendapatkan keadilan.

Lihat selengkapnya