Cinta di Bawah Langit Hitam

Muhaimin El Lawi
Chapter #3

Berbagi Rasa #2

#2

Berbagi Rasa


Surabaya, 1995

Di meja belajar, Qim tertegun memandangi tumpukan buku di kamarnya. Rak-raknya berantakan. Dia belum sempat menata kembali buku-buku yang dia baca sebagai pendamping buku ajar di mejanya secara acak. Konsentrasinya agak terganggu ketika melihat foto kopi sebuah novel yang tadi siang dihadiahi oleh Gion. Novel “Bumi Manusia” karya Pramodya Ananta Toer yang sengaja disampuli koran. Kata Gion, novel itu dilarang beredar karena penulisnya dianggap telah menyusupkan ajaran marxisme dan leninisme yang membahayakan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Qim tidak pernah peduli tentang isu-isu semacam itu. Dia hanya mau memedulikan teori-teori fisika apa yang berlaku pada semua peristiwa dunia yang dia lihat. Baginya, itulah yang paling mungkin dia jadikan media untuk mewarnai negeri yang dia cintai. Segetol apa pun dia memikirkan peristiwa kebangsaan sebagaimana yang selalu dibicarakan oleh Gion, dia tidak akan punya kesempatan yang leluasa dalam mengekspresikan semua hasil pemikirannya untuk negara. Jabatan dan peluang-peluang politik yang menjadi media arus utama dalam mempersembahkan kiprah terbaik sudah tertutup rapat untuk etnisnya.

Tapi mendengar cerita Gion yang sangat meyakinkan membuat benteng pertahanan apatisme Qim jebol juga. Gadis itu dibuat bertanya-tanya, kenapa buku sepenting itu mesti dilarang edar. Dari tadi pertanyaan itu membuatnya tidak bisa fokus untuk menyelesaikan soal-soal rumit fisika yang menunggu penyelesaian secepatnya. Naskah foto kopian itu seperti menebarkan aroma yang menggoda dan memaksa untuk segera dijamah. Tapi dia masih berusaha menepisnya. Sehingga terjadilah peperangan dahsyat dalam batinnya antara menyibak tabir misteri untuk membaca novel itu dan memecahkan persoalan-persoalan rumit rumus-rumus fisika di buku ajar sekolahnya.

“Ah! Awas kau, Yon!” suaranya berbisik sembari tertawa sendiri, merasakan keanehan yang selalu hadir dalam hatinya setiap berinteraksi dengan pemuda itu, “gara-gara promosimu, aku jadi galau begini.” Tangannya menyingkirkan buku ajar di hadapannya, membiarkan soal-soal fisika yang misterius itu tergeletak dan terlantar begitu saja. Dia mulai menyentuh novel foto kopian yang diletakkan di atas tataan buku antologi cerpen “Penembak Misterius” karya Seno, antologi cerpen yang selalu membuat Gion geram sendiri ketika membicarakannya.

Dia masih membolak-balik naskah itu. Dia memperolehnya saat Gion mengajaknya mampir ke warung kopi setelah pulang sekolah, meskipun mereka memesan es teh. Di situlah tempat biasa mereka membagi kisah dan rasa. Di tempat itu mereka biasa bertukar kesan tentang posisi diri sebagai bangsa Indonesia.

Di warung itu, mula-mula mereka berbicara tentang makanan kesukaan masing-masing. Dari situ, Gion tahu bahwa lidah Qim sudah benar-benar terlepas dari kekhasan etnisnya. Gadis itu sudah menyatu dengan makanan-makanan ala Nusantara. Dia mengungkapkan bahwa dia menyukai rendang dan pecel.

Dalam pembicaraan itu, mereka sampai pada pembahasan tentang cinta tanah air. Yaitu ketika Gion tiba-tiba memanahkan pandangan tajam tepat pada mata cokelat cerah yang menghiasi wajah itu. Kemudian sambil meraba-raba raut muka gadis itu, dia mengungkapkan pertanyaannya, “andaikan suatu ketika Indonesia masuk final piala dunia melawan Cina, kamu mau dukung siapa?”

Gadis itu tidak langsung menjawab. Dia mengerutkan wajah dengan pandangan mata memancar ke arah es teh di hadapannya.

“Terus, kamu dukung siapa?” Lalu gadis itu menanggapi dengan cengar-cengir.

Lihat selengkapnya