"Jadi berapa hargamu semalam?" tanyaku dengan suara tajam pada lelaki yang berdiri kaku di belakang tubuhku.
"Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa." Ia menolak dengan sopan. Aku berdiri memunggunginya menghadap ke jendela. Kulipat tangan di depan dada menahan malu tiada terkira.
Jujur saja, bukan hal sulit bagiku menemukan pria tampan dan kaya. Hanya saja sikap Fajar Suharjho ini sudah membuatku nyaman. Sikapnya yang santun dan caranya memperlakukan wanita sungguh membuat hati terenyuh dan jatuh cinta.
"Saya di sini hanya mencari nafkah. Saya memiliki istri dan anak di desa. Mohon kiranya Nyonya jangan berfikir yang berlebihan terhadap saya," ucapnya sopan.
Seribu rayuan yang kuucapkan untuknya tidak di gubris sama sekali. Padahal kancing kemeja itu nyaris semuanya kubuka. Malu? Tentu saja, aku di tolak pria miskin sepertinya. Tapi, ini tantangan bagiku. Sikapnya yang seperti ini yang membuatku semakin penasaran dan suka terhadapnya.
"Keluar!" perintahku lantang. Kualihkan pandangan ke tempat lainnya.
"Sekali lagi, maafkan saya Nyonya." Terdengar Ia melangkah pergi.
Aku berbalik dan menghempaskan tubuh di pembaringan. Tangis sebisa mungkin kutahan. Aku Ratu Darisya, perempuan cantik kaya raya yang memiliki semuanya. Aku tidak boleh lemah, apalagi menangis hanya karena pria. Terlebih, hanya karena seorang pria miskin seperti Fajar. Dia hanya kerikil kecil yang harus kuhilangkan dari pikiran. Dia hanya sopir pribadi di rumah ini. Tidak lebih!
Kutarik napas dalam kemudian memejamkan mata.
***
Pagi hari, aku sudah rapi dan wangi. Dres berwarna ungu menjadi pilihan hari ini. Aku harus ke butik menemui tangan kananku. Ada beberapa pekerjaan yang harus kami bicarakan.
"Nyonya mau pake sepatu yang mana?" tanya Fera, asisten rumah tanggaku yang khusus mengurus busana dan pakaian yang kukenakan setiap hari.
"Yang baru beli dari Prancis kemarin, ya! Warna hitam," jawabku singkat.
Ia langsung berlalu mengambilkan sepatu yang kumaksud. Kemudian berjongkok memakaikannya. Setelah selesai aku memintanya keluar. Aku berputar beberapa kali di depan cermin, menatap kagum pada kesempurnaan tubuh dan wajah cantikku. Yakin sempurna aku melangkahkan kaki keluar, sebelumnya menyambar tas Gadino warna putih milikku yang tergeletak di dalam lemari kaca khusus tas bermerk yang berjajar rapi di sana.
Perlahan dengan anggunnya aku menuruni anak tangga kemudian berjalan ke arah teras rumah. Bergegas Fajar membukakan pintu mobil, aku membuang muka. Teringat kejadian memalukan semalam. Sudah menunggu si Desi di dalam mobil, Ia sekertaris pribadiku yang mencatat semua jadwalku. Menemani kemanapun aku pergi.