"Berhenti bersikap seperti itu terhadapku!" kataku penuh penekanan.
Kemudian kembali menatap luasnya pantai di ujung sana dengan mulut mengerucut sebal.
"Maaf, Nyonya jika saya salah."
Kenapa dia harus bicara, aku sedang tidak ingin mendengarnya berkata apa pun itu.
"Nyonya."
"Diam! Aku tidak memintamu bicara," sungutku kesal tanpa menoleh ke arahnya. Entahlah, apakah sikapku ini benar. Aku hanya cemburu mendengar celotehnya mengenai keluarga kecilnya.
Hening. Hanya suara deburan ombak dan anak kecil yang berlarian bersama keluarganya di sekitar kami.
"Nyonya, boleh saya bertanya?"
"Apa?"
"Kenapa Nyonya di panggil dengan sebutan Nyonya, bukan Nona. Padahal setau saya Nyonya masih single."
"Apa perlu aku menjawab pertanyaan tidak berbobot seperti itu?"
"Tidak, Nyonya."
"Hubungan kita hanya sebatas sopir dan majikan. Jangan berpikir lebih dari itu, kalaupun aku mau bicara denganmu itu hanya hal-hal sewajarnya saja!" ucapku masih menatap deburan ombak di depan mata.
Aku tidak sanggup jika harus menatap ke dalam bola matanya, takut kembali terlena dan kembali jatuh ke jurang yang dalam saat menyadari dia hanya ada dalam angan.
Sebutan Nyonya sudah melekat dalam diriku. Sejak pertunganku batal sebelum kedua orang tuaku meninggal kecelakaan pesawat waktu itu. Aku tau pertunangan itu hanya untuk menyatukan dua perusahaan agar menjadi lebih besar, bukan untuk menyatukan dua hati yang saling mencintai.
Hasilnya, dua hari setelah acara pertunangan. Aku memergoki Holand minum dan tidur dengan wanita lain. Sejak saat itu aku menutup hatiku untuk pria kaya mana pun. Kalau pun ada yang mendekat itu bukan karena ketulusan cinta mereka, tapi hanya karena harta.
"Nyonya."
"Apa lagi?" bentakku kesal.
"Sudah sore, saatnya kita pulang. Bukankah, Nyonya ada pertemuan dengan rekan bisnis di restoran Jepang?"
Aku baru ingat, bergegas aku berdiri. Membersihkan sisa pasir yang masih menempel di bagian belakang dressku dengan tangan. Lalu begitu saja berjalan pergi meninggalkan Fajar yang tampak terburu-buru menyusul langkahku ke arah mobil.
***
"Bik Darmiii!!" teriakku pagi itu saat bersiap sarapan di meja.
Wanita yang sudah berpuluh tahun sudah mengabdikan tenaganya pada keluargaku ini langsung berlari mendekat.
"Kenapa Nyonya?"
"Panggil semua orang ke sini!" Bi Darmi memencet tombol darurat sehingga semua pekerja yang ada di rumah ini berkumpul di meja makan.
Sepuluh orang berdiri rapi di samping meja makan yang panjang, meja makan ini seharusnya cukup untuk makan dua sampai tiga keluarga. Tapi, setiap hari aku selalu sendirian makan di sini, menyedihkan.
"Akhir-akhir ini kerja kalian tidak becus! Bi Darmi, kenapa bisa seperti ini?" Bi Darmi kebingungan, setelah menoleh ke kiri dan kanan Ia tertunduk lesu.
"Bi Darmi Kepala Asisten Rumah Tangga di rumah ini. Apa Bi Darmi jarang memeriksa pekerjaan mereka?" kataku lantang.
"Kamu, Pak Sopian! Lihat mobil yang biasa Bapak bawa. Kotor! Seperti tidak pernah di cuci, jangan males! Cuci mobil setiap hari." Pak Sopian meminta maaf.
"Jesica! Masakanmu akhir-akhir ini terlalu pedas! Kamu lupa saya memiliki riwayat penyakit asam lambung? Atau kamu sengaja?" bentakku melotot ke arahnya. Wanita berusaha 32 tahun itu menunduk dengan mata merah, takut di pecat.
"Yuli! Bagaimana kamu mencuci baju ini?" Aku menunjuk blazer warna putih yang kupakai. "Warna baju ini agak kekuningan. Baunya juga sedikit apek!" Dia menunduk mengucapkan kata maaf.
"Wilda! Lihat meja makan ini!" Aku membuka sedikit alasnya. "Meja ini berdebu! Bagaimana kalau debu dan kuman pada meja ini masuk ke makanan yang aku makan, dan aku jatuh sakit? Mau kamu tanggung jawab?" Bentakku sekali lagi. Dia mengatupkan kedua tangan di depan dada meminta maaf dengan linangan air mata.
"Pak Joko! lihat tanaman di depan itu, banyak yang layu! Rumputnya sudah mulai panjang! Urusin, jangan males!" teriakku pada tukang kebun.