Hari ini Fajar ijin tidak masuk. Kenapa dia? Apa dia sakit? Pikiranku diliputi bebagai macam dugaan. Di rumah pun saat aku menanyakan pada orang-orang mereka bilang, ia keluar sejak pagi. Kemana dia?
"Nyonya," sapa Arman.
Aku yang sedang melamun berpangku dagu di buat agak kaget oleh suaranya.
"Oh, iya," sahutku langsung merubah posisi duduk tegap.
"Ini laporan penjualan perusahaan bulan ini, sesuai yang Nyonya minta tadi." Aku mengambil map yang diulurkannya kemudian membuka dan membacanya.
"Oke, kamu boleh keluar." Arman membungkuk lalu keluar ruangan.
Hari ini aku datang ke perusahaan untuk meninjau penjualan. Dahiku mengerut melihat laporannya. Di sini tertulis bahwa laporan penjualan produk menurun drastis bulan ini, bahkan sampai 50℅. Usaha butik aman-aman saja, tapi usaha distribusi makanan ringan mengapa bisa seanjlok ini?
Kutekan nomor telepon manager yang memegang perusahaan ini. Tapi sedang sibuk, tidak bisa di hubungi. Lebih baik ketemuan saja di salah satu restoran atau cafe untuk membicarakan masalah ini supaya lebih enak. Usaha distribusi makanan ringan ini adalah salah satu usaha turun temurun di keluarga kami. Perintisnya adalah Papa hingga bisa sebesar sekarang.
[Desi, tolong atur pertemuan antara aku dan Pak Dika malam ini.] send.
Tidak lama lampu gawai berkelip, menunjukkan ada pesan WA masuk. Langsung saja kubuka pesannya.
[Baik, Nyonya.]
Setelah sepuluh menit pesan WA kembali masuk.
[Jam 8 malam di cafe biru muda.]
Hanya kubalas [Ok.] send.
***
Suasana cafe sangat ramai malam ini. Pak Sopian dan Desi berjalan di belakangku. Aku mendekati pria berjas hitam di meja bagian tengah.
"Selamat malam, Nyonya," sapanya langsung berdiri.
Pak Sopian langsung menarik kursi untuk kududuki. Setelah itu Desi duduk di sisiku diiringi Pak Dika sedangkan Pak Sopian memilih tetap berdiri.
"Malam, kemana Anda tadi siang, Pak? Apakah anda tidak tau kalau saya akan mengunjungi perusahaan?" tanyaku sambil duduk menyilangkan kaki.
"Maaf, Nyonya. Saya ada keperluan mendadak sehingga harus keluar kantor. Next time saya akan lebih disiplin." Dia menunduk memohon maaf.
"It's okelah. Langsung saja, saya mengecek penjualan perusahaan bulan ini. Kenapa penjualan bisa anjlok sampai 50%?"
Pak Dika menarik napas panjang.
"Inilah yang ingin saya ceritakan pada Nyonya dua hari yang lalu saat saya menelpon. Ada isu yang beredar di masyarakat kalau snack yang kita jual mengandung lilin."
"Saya sudah mendengar masalah itu. Kenapa tidak buat klarifikasi? Bukankah produk kita terdaftar di BPOM? Buat konferensi pers dan jelaskan semua, katakan bahwa berita itu hanya HOAX."
"Itu pasti saya lakukan Nyonya, hanya saja tidak mungkin penjualan akan naik drastis."
"Gandeng supplier baru, kita jual produk baru di luar makanan ringan."
"Produk apa, Nyonya?"
"Pembalut wanita, itu yang duta besarnya aktris cantik Revalina S temat!" kataku penuh keyakinan.
"Tapi ... Nyonya. Kita biasa menjual produk makanan."
"Lakukan saja perintahku! Temui managernya dan jalin kerja sama secepatnya."
"Baik, Nyonya."
Saat kami sedang berbincang-bincang terdengar keributan di dekat meja kasir. Seorang pelayan cafe dengan baju khas pelayan di caci maki oleh Bosnya karena tidak sengaja menumpahkan sisa kopi ke gaun pengunjung. Wanita yang gaunnya sedikit kotor itu marah-marah sampai menunjuk wajah si pelayan.
"Kamu tau harga baju ini berapa? Gaji kamu sepuluh bulan pun tidak cukup untuk membeli gaun ini!" teriaknya.
'Oh, songong sekali wanita itu.' aku membatin.
Aku hanya melirik sekilas, lalu mengacuhkannya. Tapi tunggu dulu, kembali kupandang wajah pria yang memakai baju pelayan cafe itu lamat-lamat. Jantungku hampir copot, dia Fajar. Ternyata seharian dia ijin tidak masuk karena kerja di sini. Lalu perempuan itu terlihat puas melihat Fajar di caci maki.
'How Dare You!!' rutukku dalam hati geram. (Beraninya kamu!)
"Desi, siapa pemilik usaha cafe ini?" tanyaku melirik sinis ke arah Desi.
"Pak silakan kalau mau pulang lebih dulu." Desi mempersilakan Pak Dika pulang.
Pria bertubuh tambun itu langsung pamit pulang, sebelumnya mengajakku bersalaman.
"Desi, cepat cari tau siapa pemilik usaha ini?" tanyaku kehilangan kesabaran setelah Pak Dika berlalu.
"Sabar, Nyonya." katanya agak gugup dan terus mencari tahu melalui ponselnya.
"Pak Haikal namanya, Nyonya."
"Hubungi Pak Haikal, katakan aku mau menanam modal 80℅ di cafe ini."