Layar laptop menyinari kamar Nadia yang temaram. Poster-poster boyband Korea menempel setengah miring di dindig, kipas angin tua berderit pelan, dan di lantai ada tumpukan buku paket yang belum dibuka sejak awal semester. Nadia bersila di atas kasurnya, masih mengenakan seagam putih abu-abu yang kusut, rambut diikat cepol yang asal dengan scrunchie biru yang sudah melar.
Jarinya mengetik cepat, hampir seperti balas dendam. Kotak email koong itu ia isi denan kalimat yang Panjang, terpotong-potong, penuh huruh kapital, tanda seru, dan emotikon marah.
Maya, lu tau nggak sih hari ini gila banget. Pertama, si Alvin itu… serius ya, kalau dia buka ketua OSIS dan bukan punya senyum kayak ikan pasta gigi, gua lempar sepatu ke mukanya. Dia gandengan sama si Tania di kantin depan gua! Hello?!
Nadia berhenti sebentar, menggertakkan giginya, lalu menambahkan lagi.
Terus, jangan lupa Bu Rini—gua sumpah kalau dengar kata ‘biologi’ lagi gua muntah. Dia marah cuma gara-gara gua salah nyebut ‘arteri’ jadi ‘artis’. Terus apa? Duni kiamat? Raka Juga ikut-ikutan sok pinter. Dia kayak kamus berjalan dan gua benci banget cara dia bilang ‘Nad, itu salah. Arteri bukan artis’ MAKSUD Lu APA? Huh. Nyebelin banget.
Kursor berkedip, nadia menyender, menghela napas panjang. “Oke. Habis. Semua keluar.”
Ia melirik jam digital di meja: 23:20. Rumah sudah sunyi. Hanya ada suara nyamuk yang sesekali mendesing dekat telinga. Nadia menggeliat, meneguk teh kotak yang sudah hambar, lalu kembali menatap layar. Emailnya sudah panjang, isinya campuran gosip, keluhan, sampai fantasi konyol.
Pokoknya gua yakin satu hal, SMA ini kayak neraka kecil. Dan kalau besok semua orang tiba-tiba hilang, gua gak akan kangen sama sekali… kecuali Lu, May. Karena lo satu-satunya orang waras di dunia ini.
Senyumnya muncul sebentar. Ia merasa lebih lega setelah menulis semua itu. Jari telunjuk melayang ke atasu mausepad menuju tombol send.
“Ya udah, kirim aja. Maya pasti ketawa baca ini,” gumamnya.
Ia klik tanpa pikir panjang.
Klik.
Suara kecil yang biasanya biasa-biasa saja, malam itu terdengar seperti pelatuk pistol. Klik itu masih terngiang-ngiang dikepala Nadia. Ia menatap layar dengan lega, sampai matanya menangkap detil kecil yang biasanya tak ia perhatikan.
Baris kecil di bawah tulisan sent muncul:
To: AllStudents_SMAN5@schollmail.id
“Apa?” Nadia memicingkan mata, ia condong ke depan, menempelkan wajah ke layar seolah tulisan itu akan berubah kalau dilihat lebih dekat. Tapi tulisanitu tetap ada di sana, tegas, tak bisa diganggu gugat.
“All… Students?” suaranya tercekat.
Tangannya gemetar. Kotak pesan yang tadi ia kira kirim cuma mampir ke Maya, kini terpampang jelas, dengan daftar penerima yang panjangnya bikin Nadia hampir pingsan. Ratusan Alamat email—semua murid SMA Negeri 5, dari kelas 10 samppai 12—ada disana.
“NGGAK MUNGKIN.”
Nadia langsung berdiri dari kasur, latop hampir jatuh karena tersenggol lututnya. Ia tarik napas pendek-pendek, jantungnya berdetak seperti drum marching band. Tangannya buru-buru mencari tombol undo send, tapi terlamabat. Notifikasi kecil di pojok kanan sudah hilang.
Your message has been sent.
“Ya AALLAH! Gua baru aja—gua baru aja…,” suaranya tercekat.
Keringat dingin muncul di kening. Ia klik tombol refresh, berharap emailnya bisa ketarik balik. Tetapi setiap kali halaman berganti, email itu tetap ada di folder terkirim. Lengkap dengan isi gosip tentang Alvin, ocehan soal Bu Rini, dan ejekan ke Raka.
“Kalau mereka semua baca…,” Nadia langsung membayangkan: Alvin membaca bagian dirinya 'pura-pura pangeran sekolah'. Tania pacar barunya, nyebarin ke geng cewek populer. Raka? Bakal kasih tatapan sok bijak, kayak biasa, sambil bilang 'kan udah kubilang kamu ceroboh'.”
Nadia menutup wajah dengan kedua tangan. “Gua mati. Gua beneran mati.”
Ia jatuh terduduk di kasur, laptop masih terbuka, layar berkedip-kedip dengan tenang seakan mengejek. Suara kipas angin disudut kamar makin terdengar keras, seperti mengiringi drama kebodohannya. Dan teapt saat ia menunduk, notifikasi kekecil berbunyi.
Ding….
Email masuk.
Lalu, Ding lagi.
Dan lagi.
Ding. Ding. Ding. Ding.