Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #2

Bab 2. Ledakan Kantin

Jam weker di meja belajar berbunyi kasar, tapi Nadia sama sekali tak beranjak. Ia menggulung diri di bawah selimut, wajah menempel erat ke bantal.

“Bangun, Nad!” suara ibunya dari luar pintu. “Nanti telat sekolah!”

Nadia meringis. “Gua lebih baik telat hidup sekalian,” gumamnya pelan.

Dengan langkah enggan, ia keluar kamar, menyeret kaki menuju meja makan. Wajahnya kusut, rambut masih acak-acakan. Ibunya sudah duduk sambil menyiapkan sarapan sederhana: roti keju, telur dadar, dan segelas susu putih.

“Ma, aku sakit,” kata Nadia tiba-tiba, duduk dengan suara serak dibuat-buat. “Kayaknya tipes. Atau radang otak. Atau apa aja deh yang serius.”

Ibunya menatapnya lama, penuh curiga. “Kamu makan roti dulu deh. Kalau masih bisa makan, berarti nggak sakit parah.”

Nadia menggeliat. “Ini beneran, Ma. Aku demam.”

Ibunya menyentuh keningnya sebentar. “Normal. Bohong kamu.”

“Panasnya di hati, Ma…,” Nadia mendesah dramatis.

Ibunya mengangkat alis. “Ini pasti gara-gara email semalam, ya?”

Nadia sontak menegakkan tubuh. “Mama tau?!”

“Ya tau lah. Semua orang tua dikirimin broadcast sama wali murid. Malam-malam tante Yuni telepon cuma buat ketawa-ketawa.” Ibunya menggeleng. “Nad, kadang kamu itu kebanyakan drama.”

Nadia menutupi wajah. “Ya udah, Ma. Sekarang aku resmi jadi aib keluarga. Besok-besok kalo aku dilamar orang, calon mertuaku bakal googling nama aku, yang keluar cuma berita: Siswi SMA salah kirim email gosip.”

Ibunya menepuk bahunya, setengah iba setengah menahan tawa. “Yaudah, jangan makin lebay. Cepet siap-siap. Mau seberapa malu pun, kamu tetep harus sekolah.”

***

Setengah jam kemudian, Nadia sudah duduk di jok motor ojek online yang melaju ke arah sekolah. Angin pagi yang biasanya segar kini terasa dingin menampar wajahnya. Ia memeluk tas erat-erat, pandangan kosong ke jalanan.

“Besok aja aku pindah sekolah,” bisiknya pada diri sendiri. “Nggak, pindah kota sekalian. Nggak, pindah negara. Ke Jerman. Ya, Jerman bagus. Di sana nggak ada Alvin. Nggak ada Tania. Nggak ada Raka, hanya ada Maya dan aku.”

Motor berbelok memasuki jalan kecil menuju gerbang sekolah. Dari kejauhan, Nadia sudah bisa melihat kerumunan siswa-siswi berbaris masuk. Beberapa orang menoleh, lalu berbisik-bisik sambil menahan tawa.

Jantung Nadia langsung menciut.

“Ya Allah… ini beneran jalan menuju neraka.”

Motor berhenti tepat di depan gerbang. Nadia turun pelan, menyerahkan ongkos, lalu berdiri kaku. Rasanya seperti seorang tahanan yang dipaksa berjalan ke ruang sidang. Begitu kakinya melangkah melewati gerbang, sepasang murid kelas 10 yang duduk di pos satpam spontan berbisik keras. “Itu dia!

Dan efeknya seperti percikan api di ladang kering. Pandangan demi pandangan beralih padanya. Ada yang senyum sinis, ada yang pura-pura batuk sambil menyebut “artis,” ada juga yang menahan tawa sambil pura-pura foto.

Nadia terasa makin berat. Langkah pertama Nadia melewati gerbang terasa seperti meninjak panggung gladi resik untuk pertunjukan yang ia tidak pernah daftar.

Tatapan datang dari segala arah. Ada cewek-cewek kelas 10 yang langsung menutup mulut sambil cekikikan. Ada anak basket yang pura-pura nyanyi lagu iklan pasta gigi sambil nunjuk ke Nadia. Bahkan satpam yang biasanya sibuk main catur ikut melirik dan tersenyum simpul, seakan tahu gosip terbaru.

“Ya ampun, beneran kayak film horor,” gumam Nadia, mempercepat langkah.

Suara bisik-bisik mengiringinya di sepanjang koridor.

“Eh, itu si Nadia ‘arteri artis’, kan?”

“Hahaha, sumpah legend.”

“Besok-besok kalo ada ujian, jangan tanya ke dia, jawabannya bisa jadi konser musik.”

Nadia menundukkan kepala, berusaha menghindari kontak mata, tapi itu malah bikin orang-orang lebih berani komentar.

Begitu ia belok ke arah kelas XI-IPA 2, sekelompok cowok sudah menunggu di depan pintu, lengkap dengan tepuk tangan sarkastis.

“Selamat pagi, seleb sekolah!” salah satu dari mereka berseru.

Lihat selengkapnya