Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #3

Bab 3. Pesan Dari Taman

Suasana kelas XI-IPA 2 siang itu lebih mirip pasar malam daripada ruang belajar. Setiap sudut dipenuhi suara ketawa, jeritan, bahkan tepuk tangan, semua gara-gara satu hal: email Nadia.

Nadia duduk terpaku di bangkunya, mencoba menutupi wajah dengan buku paket Biologi yang tebal. Tapi usaha itu percuma. Notifikasi ting-ting-ting dari grup WhatsApp kelas terdengar seperti alarm sirine yang tak bisa dihentikan.

“GUYS, VOTE CEPETAN!” teriak Rendi dari bangku belakang, suaranya lantang.

Pollingnya udah gue bikin!”

Nadia mengintip dari balik buku, lalu melirik Maya di sebelahnya. Maya sudah cekikikan sejak tadi, sambil sibuk scroll layar HP.

“Nad, sumpah… lu harus liat ini. Gua nggak tau mau ketawa atau ikut nangis,” kata Maya, menyerahkan ponselnya.

Dengan tangan gemetar, Nadia menerima. Di layar terpampang polling di grup WhatsApp IPA 2 Solid Banget.

Tokoh Favorit dari Email Nadia Putri

Alvin, seleb OSIS

Bu Rini, ratu spidol merah

Raka, arteri bukan artis

Jumlah vote sudah lebih dari seratus. Dan jelas sekali, Raka memimpin telak.

Nadia menepuk jidat dengan keras. “Ya Alllah… sekarang email gua jadi ajang voting?!”

Rendi berdiri di bangku sambil bersorak, “RAKA MENANG! RA-KA MENANG!”

Anak-anak lain ikut bersahut-sahutan, seperti suporter bola. Raka sendiri? Duduk di pojok kelas, wajah datar, sibuk menulis di buku catatan. Sama sekali tak bereaksi, seakan riuh itu terjadi di planet lain.

“Kenapa dia bisa cuek kayak gitu?!” Nadia berbisik panik.

Maya menahan tawa. “Karena makin dia cuek, makin banyak orang nge-ship kalian berdua.”

“Ship apaan! Gua lagi karam, May!”

Tiba-tiba notifikasi baru berbunyi. Grup kelas makin meledak. Seseorang mengirim stiker baru, foto wajah Nadia yang di-zoom-in, diedit pakai mahkota emas, dengan tulisan QUEEN OF WRONG SEND.

Kelas pecah lagi. Beberapa anak sampai jatuh dari kursi saking ngakaknya.

Nadia menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Allah… ambil gua sekarang juga….”

Maya menepuk bahunya. “Tenang, Nad. Sisi positifnya, lu udah lebih terkenal dari seleb TikTok lokal. Minus endorse-an doang.”

Nadia mendelik. “Lu temen gua atau musuh gue sih, May?!”

“Gua rasa ini jebakan, Nad. Tapi kalau jebakan, ya setidaknya seru.”

Maya menatap Nadia dengan ekspresi yang terlalu bersemangat untuk seseorang yang baru saja menyebut kata jebakan.

Nadia memelototinya. “Lu tuh temen apa provokator, sih?”

“Dua-duanya. Temen yang suportif sekaligus provokatif,” jawab Maya sambil nyengir. “Ayo cepet, sebelum yang ngirim pesan kabur.”

***

Langit sore itu agak mendung, udara lembab setelah hujan tipis. Nadia berdiri di depan tangga belakang gedung sekolah, memegang ponselnya erat-erat. Pesan singkat di layar masih sama,

Taman belakang. Sekarang.

Tidak ada nama pengirim. Hanya nomor asing dengan avatar kosong.

“Gua tuh udah yakin ini prank,” gumam Nadia pelan, lebih ke dirinya sendiri. Tapi jari kakinya malah melangkah maju. Setiap langkah di lorong belakang terasa panjang, seperti menembus udara yang penuh bisik-bisik.

Maya berjalan di sampingnya sambil mengunyah permen karet, seolah mereka cuma jalan santai sore-sore. “Lu sadar nggak, ini kayak film detektif yang pemeran utamanya nggak siap?”

“Ya, dan tokoh pendukungnya cuma bisa bikin onar,” balas Nadia tanpa menatap.

Mereka melewati ruang UKS yang sepi, lalu taman kecil di belakang sekolah mulai terlihat. Rumputnya agak tinggi, daun basah menempel di ujung sepatu. Suara jangkrik samar terdengar di sela udara lembab.

“Kayaknya nggak ada orang,” bisik Nadia. Ia menatap sekeliling, hanya ada bangku tua di bawah pohon mangga dan dinding belakang sekolah yang mulai berlumut.

“Coba panggil aja,” kata Maya. “Siapa tau dia sembunyi.”

Nadia menelan ludah. “Halo?” suaranya hampir tak terdengar. “Kalau ini prank, sumpah gua—”

Sesuatu berderak pelan dari arah semak. Maya langsung menyikut lengan Nadia. “Tuh, tuh! Ada suara!”

Nadia mundur satu langkah. “Lu duluan, lu yang heboh.”

Lihat selengkapnya