Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #4

Bab 4. Janji Rahasia

Kelas semakin sepi. Kursi-kursi yang tadi riuh sudah kosong, tinggal beberapa suara tas diseret dan sandal gesek di lantai. Di papan tulis, coretan sisa pelajaran belum dihapus, tapi bagi Nadia, papan itu cuma jadi latar belakang rasa paniknya.

HP masih ada di tangannya. Pesan itu tidak hilang, malah makin terasa mendesak.

Ketemu di taman belakang setelah sekolah. Jangan bilang siapa-siapa.

Nadia memejamkan mata, lalu membuka lagi. Seolah berharap ada tambahan ‘hehe canda doang’. Tapi tidak ada.

“Nad,” suara Maya memecah lamunannya, “gue ulangi ya, kalo lu nggak dateng, bisa jadi lu nyesel. Tapi kalo dateng… ya bisa juga lu nyesel.”

Nadia menoleh dengan tatapan datar. “Thanks, May. Gila, itu saran apa?!”

Maya duduk di bangku depan, muter-muter bolpoin di tangannya. “Lu tau kan teori film horor? Karakter yang nekat biasanya mati duluan. Nah, karakter yang kabur juga mati duluan. Jadi jalan tengahnya ….”

“Jangan bilang, mati bareng.”

“Ya enggak lah!” Maya nyengir. “Jalan tengahnya adalah, bawa sidekick kocak yang bikin suasana nggak tegang. Alias gua.”

Nadia mendesah. “May, sumpah, lu kalo audisi jadi badut ulang tahun pasti langsung lolos.”

Maya pura-pura membungkuk. “Terima kasih, terima kasih. Gua menerima penghargaan ini dengan bangga.”

Nadia menatap jam dinding. Jarumnya sudah mendekati pukul tiga. Waktu pulang benar-benar sudah tiba.

“May…,” suara Nadia lirih, “… kalo ini jebakan, gua bisa jadi bahan gosip lagi. Dan kali ini levelnya bukan sekolah doang.”

Maya mencondongkan badan, menatap serius. “Tapi kalo lu nggak dateng, lu nggak akan pernah tau siapa dalangnya. Bisa jadi besok akun parodi itu makin gila-gilaan. Mau nunggu sampai spanduk lu dipajang di depan gerbang sekolah?”

Nadia menutup wajah dengan kedua tangan. “Kenapa hidup gua begini amat ….”

“Karena lu beda, Nad.” Maya menepuk bahunya, lalu menambahkan dengan senyum usil, “… beda dari orang normal.”

Nadia melempar penghapus ke arahnya. Maya tertawa keras, memungutnya lagi, lalu mengembalikan ke meja.

Hening sebentar. Kicau burung terdengar samar dari luar jendela. Cahaya sore semakin condong, seolah benar-benar memaksa Nadia untuk segera membuat keputusan.

Akhirnya Nadia berdiri, meraih tasnya. “Oke, May. Kita ke taman belakang. Tapi kalo ada pocong nongol, gua tinggalin lu.”

Maya berdiri sambil merangkul bahunya. “Deal. Tapi inget, kalo itu Raka yang nunggu, gue bakal langsung bikin vlog. Biar ada bukti.”

“MAY!!!”

Suara tawa Maya menggema di kelas yang sudah kosong.

***

Suara sandal dan sepatu berdecit di lantai koridor yang mulai sepi. Hampir semua murid sudah pulang, menyisakan lorong panjang yang terasa asing. Lampu neon sebagian berkedip, menambah kesan menyeramkan.

Nadia melangkah cepat, berusaha terlihat santai meski telapak tangannya dingin. Maya di sampingnya justru melangkah pelan sambil memainkan bolpoin seolah itu pedang.

“Nad, kalo ini film, ini udah mirip adegan sebelum jumpscare.”

“Bisa nggak lu jangan ngomong gitu? Gua udah cukup tegang.”

Maya menoleh, tersenyum lebar. “Eh tapi serius, menurut lu siapa yang ngirim pesan itu? Kalo admin akun parodi, kenapa harus di taman belakang? Kenapa nggak di kantin aja sekalian? Kan bisa sekalian traktir es teh manis.”

Nadia menunduk, suaranya pelan. “Gua nggak tau, May. Bisa aja Alvin. Atau… bisa juga Raka.”

Maya langsung berhenti melangkah, menatap Nadia dengan dramatis. “Akhirnya! Dia nyebut nama itu!”

“Maya….”

“Tenang, tenang. Gua nggak akan nyebarin.” Maya pura-pura zip mulutnya. “Tapi jujur ya, kalo itu Raka, berarti dia sengaja bikin pesan misterius biar lu dateng. Romantis banget nggak sih?”

“Romantis apanya?! Menakutkan kali!” Nadia mendengus, lalu menambahkan pelan, “… dan siapa bilang gua mau sama dia?”

Maya nyengir. “Bibir lu bilang nggak, Nad, tapi pipi lu sekarang merah.”

“Diam, Maya!”

Lorong makin sepi. Suara langkah mereka memantul. Sesekali ada suara gedebuk dari kelas lain yang pintunya belum terkunci, bikin Nadia hampir loncat.

Tiba-tiba suara dari belakang memecah keheningan.

“Eh, Nad!”

Nadia kaget sampai hampir menjatuhkan tasnya. Alvin muncul sambil nyender di dinding, wajahnya santai, senyum tipis.

“Ngapain masih di sekolah jam segini?” tanyanya, nada suaranya seolah penuh rahasia.

Nadia tercekat, sementara Maya sudah bersiap menahan tawa.

“Eee … gua … ada urusan,” jawab Nadia gugup.

Alvin menaikkan alis. “Urusan rahasia, ya?”

Nadia makin panik. “Nggak! Maksud gue—ya pokoknya ada, lah.”

Maya tiba-tiba nyeletuk. “Kita lagi mau sidak ke kantin. Katanya ada gorengan sisa.”

Alvin terkekeh. “Gua kira beneran rahasia. Yaudah, hati-hati, Nad.” Tatapannya sedikit lebih lama sebelum dia pergi, meninggalkan keduanya.

Begitu Alvin menghilang di tikungan, Maya langsung menoleh cepat ke Nadia. “Woy! Lu lihat nggak tadi cara dia mandang lu? Itu tatapan ‘gua tau lebih banyak daripada yang gua bilang’.”

Nadia menepuk keningnya. “Gua pusing. Gua nggak mau mikirin Alvin sekarang.”

Mereka melanjutkan langkah. Udara sore masuk lewat jendela lorong yang terbuka. Matahari hampir tenggelam, menyinari debu-debu tipis yang beterbangan.

Semakin dekat ke taman belakang, semakin hening suasananya. Tidak ada murid, tidak ada guru. Hanya suara angin yang menggoyangkan daun-daun.

Nadia menelan ludah. “May, kalo bener ada orang nunggu, lu jangan bikin suara aneh-aneh.”

Maya mengangkat bolpoinnya. “Tenang. Gua siap jadi bodyguard.”

“Bodyguard bawa bolpoin?!”

“Bisa lah. Pokoknya kalo ada yang aneh, gua tusuk pake ilmu bolpoin jutsu.”

Nadia hampir tertawa, tapi segera menutup mulut. Degup jantungnya makin kencang. Mereka sudah sampai di pintu kecil menuju taman belakang. Catnya sudah mengelupas, engselnya berkarat. Dari celah pintu, tampak bayangan pepohonan bergoyang.

Nadia berhenti, menatap Maya. “Kita beneran mau masuk?”

Lihat selengkapnya