“Pokoknya, hari ini gua harus klarifikasi,” kata Nadia pagi itu sambil menatap dirinya di cermin toilet sekolah. Wajahnya terlihat serius—tapi tangan kirinya masih sibuk menata poni yang entah kenapa nggak pernah mau nurut.
Maya berdiri di belakangnya, memegang botol air dan ekspresi skeptis. “Lu yakin mau lawan gosip, Nad? Gosip tuh kayak kecoa. Satu diinjek, muncul tujuh lagi.”
“Ya terus gua harus diem aja? Orang-orang udah bikin thread di grup kelas, May! Ada yang nulis ‘Raka diem tapi bucin’, lu ngerti nggak malu-nya gua?”
Maya mengangguk sambil meneguk air. “Gua ngerti. Tapi jujur aja, ‘Raka diem tapi bucin’ itu caption bagus banget sih.”
Nadia menatapnya tajam. “Maya.”
“Ya, ya. Oke. Gua dukung lu klarifikasi. Tapi nanti kalo mereka pada ngakak, gue nggak ikut-ikutan tanggung jawab ya.”
Bel masuk berbunyi. Mereka berjalan menuju kelas, dan suasana langsung terasa... tidak normal. Begitu Nadia melangkah masuk, seluruh kepala serentak menoleh. Suara bisik-bisik menyebar cepat seperti nyamuk di telinga.
“Eh, itu dia.”
“Nadia, Raka-nya mana?”
“Udah jadian, Nad? Ceritain dong!”
Nadia menarik napas panjang. “Oke, denger ya semuanya!” serunya sambil berdiri di depan kelas. “Gua cuma mau bilang satu hal penting, GOSIP ITU NGGAK BENER!”
Beberapa detik hening. Lalu dari barisan belakang, suara cowok bernama Dito terdengar, “Oke, noted. Tapi berarti masih proses PDKT ya?”
Tawa pecah serentak.
Nadia memejamkan mata, wajahnya merah padam. Maya yang duduk di sebelah jendela malah ikut tepuk tangan kecil-kecilan. “Wah, bagus Nad, efek dramatisnya dapet.”
“May, sumpah gua mau ngilang sekarang.”
“Tenang, tenang. Ini baru ronde satu. Klarifikasi kayak gini tuh harus pake strategi. Jangan frontal.”
Belum sempat Nadia menjawab, pintu kelas terbuka—dan Raka masuk dengan wajah datar seperti biasa.
Seisi kelas otomatis kembali riuh.
“Wih, datang juga pemeran utama prianya!”
“Eh, duduknya sebelah Nadia lagi!”
“Cieee ….”
Raka hanya menatap mereka sebentar, lalu berjalan ke bangkunya tanpa komentar. Tapi justru sikap diamnya itu yang bikin semuanya makin ramai.
Maya mencondongkan tubuh ke arah Nadia, berbisik, “Oke, ini udah kayak film remaja. Lu tinggal ngomong ‘bukan seperti yang kalian pikirkan’.”
Nadia menghela napas frustasi. “Sumpah, klarifikasi ini malah bikin gosip tambah subur.”
“Ya iya lah,” bisik Maya sambil nyengir, “karena sekolah ini bukan tempat buat logika—ini arena reality show tanpa kamera.”
Nadia menatap papan tulis, mencoba fokus. Tapi di belakang, suara-suara kecil terus terdengar.
“Gua yakin banget mereka udah deket.”
“Kayaknya Raka tuh diem-diem perhatian, loh.”
“Coba liat Nad-nya, senyum-senyum sendiri.”
Padahal Nadia cuma lagi nahan emosi biar nggak melempar penghapus.
Pelajaran dimulai, tapi fokusnya hilang entah ke mana. Saat guru menulis di papan, Maya menyodorkan secarik kertas berisi doodle dua orang dengan tulisan:
NADIA LOVE RAKA — Official Klarifikasi Gagal!
Nadia menatapnya datar. “Lu pengen gua lempar pake penghapus nggak?”
Maya nyengir lebar. “Gua bantu promosi aja, biar versi lu yang viral, bukan gosip mereka.”
Nadia hanya bisa memutar bola mata. Dalam hati, dia sudah tahu satu hal: upaya klarifikasi hari ini resmi berakhir gagal total. Tapi entah kenapa, meski kesal, bibirnya justru nyaris tersenyum.
Mungkin karena di tengah semua kekacauan ini … Raka sempat menoleh. Dan untuk sepersekian detik, tatapan mereka bertemu.
***
Suara bel istirahat terdengar, dan seisi kelas langsung berubah jadi pasar. Kursi berderit, tas diseret, dan tawa meledak di setiap sudut. Tapi di tengah kebisingan itu, Raka masih duduk di tempatnya—tenang, diam, membaca buku seperti biasa.
Nadia pura-pura sibuk merapikan catatan, tapi matanya berkali-kali mencuri pandang.
“Dia tenang banget sih,” gumamnya lirih.
Maya, yang sedang mengunyah roti keju di sebelahnya, menatap dengan gaya analis. “Cowok kayak gitu tuh bahaya. Makin diem, makin bikin orang mikir dia nyimpen rahasia besar.”
“Rahasia apaan?”
“Ya... misalnya, sebenernya dia naksir cewek yang namanya mulai dari huruf N.”
Nadia mendesah panjang. “May, sumpah ya, lu tuh bukan sahabat. Lu alarm gosip.”
“Ya tapi gua alarm yang niat, kan?” balas Maya santai sambil menepuk pundaknya.
Sebelum Nadia sempat membalas, suara tenang Raka memotong dari depan. “Nadia.”
Sekali dengar, seisi kelas langsung sunyi. Bahkan Dito yang biasanya nggak bisa diam pun berhenti di tengah kalimat.
Nadia spontan menegakkan badan. “A—apa?”
Raka berdiri pelan, menatapnya dengan wajah datar. “Gue... mau ngomong bentar.”
Reaksi kelas?
Tentu saja:
“WADUH, CIEEEE!”
“AKHIRNYA NIH MOMEN!”
“RAKA GAK DIEM LAGI, COY!”
Maya langsung menutupi wajahnya dengan buku. “Oke, ini udah kayak live show.”