Pagi itu, suasana sekolah seperti pasar malam versi digital—ramai, ribut, dan penuh orang yang sibuk scroll ponsel. Di setiap sudut, terdengar kalimat yang sama dengan versi berbeda-beda.
“Eh, lu tim Raka apa tim Alvin?”
“Gua sih Raka. Dia tuh misterius tapi manis, kayak coklat hitam.”
“Yah, gua Alvin-lah! Gimana pun, cowok humoris tuh menang di hati perempuan.”
Sementara itu, Nadia berjalan di lorong dengan langkah berat. Setiap kali lewat, semua mata seolah mengikutinya. Ada yang senyum-senyum, ada yang bisik-bisik, ada yang… nyengir kayak wartawan gosip.
“Gua sumpah pengen pake helm sekarang,” gumamnya pelan.
Maya yang berjalan di sebelahnya menepuk pundaknya ringan. “Tenang, Nad. Kalau lu pake helm ke kelas, justru makin viral. Bisa jadi simbol perlawanan ‘Cewek yang melindungi kepalanya dari gosip’.”
“May, gua serius.”
“Gua juga serius. Nih liat.” Maya menunjukkan layar HP-nya.
Grup sekolah, “update panas.” Sudah penuh notifikasi. Ada postingan baru juga
Polling final: tim Raka 54% - Tim Alvin 46%
Komentar 1: Kalo Alvin nyengir aja bikin jantung deg-degan, gimana kalo diajak makan bareng?
Komentar 2: Raka tuh kayak karakter utama drama Korea. Diam tapi dalem.
Komentar 3: Kasian Nadia, dua-duanya bahaya tapi beda arah serangannya.
Nadia menatap layar itu lama, lalu menarik napas panjang. “Kenapa mereka nulisnya kayak nonton reality show, bukan kehidupan orang beneran?”
“Karena, sayangku,” Maya berkata dramatis sambil merangkul bahunya, “lu sekarang bukan ‘orang biasa’. Lu tuh franchise.”
“Franchise apaan?”
“Ya franchise drama sekolah kita! Ada prekuel, sekuel, spin-off, bahkan teori konspirasi. Nih—ada yang bilang gosip ini setting-an biar Alvin sama Raka jadi terkenal di tim basket.”
Nadia berhenti jalan, memandang Maya dengan ekspresi tak percaya. “Orang-orang tuh… punya waktu senggang banyak banget ya?”
Belum sempat Maya menjawab, suara Pak Jaya—guru matematika paling senior di sekolah—terdengar di ujung lorong. “Nadia! Kamu yang di video itu ya?”
Nadia membeku di tempat.
Pak Jaya melangkah mendekat sambil membawa buku absen. “Wah, heboh juga loh. Saya sampai dikirimin link-nya sama anak saya. Katanya, Pak, ini sekolah Bapak yang viral di TikTok, ya?”
Nadia nyaris menelan lidahnya. “I-it—itu… bukan maksud saya, Pak.”
Pak Jaya mengangguk bijak. “Iya, iya, saya ngerti. Tapi ya lucu juga. Dulu jamannya saya sekolah, paling banter gosipnya soal siapa yang nyontek. Sekarang… cinta segitiga.”
Maya hampir jatuh saking menahan tawa. “Cinta segi… tiga…,” gumamnya pelan.
“Udah, kalian masuk kelas,” kata Pak Jaya sambil berjalan pergi. “Oh iya, Nadia.”
Nadia menegakkan badan cepat. “Iya, Pak?”
“Kalau bisa, jangan bikin tim guru juga, ya.”
“PAK!”
Maya langsung terpingkal. “Gue suka Pak Jaya! Sense of humor-nya kayak lu, Nad, tapi versi bapak-bapak.”
***
Di kelas, situasinya nggak kalah heboh. Di papan tulis belakang, seseorang menggambar dua hati besar bertuliskan,
#R + N dan A + N#
Nadia cuma bisa menatapnya tanpa ekspresi. “Siapa yang nulis beginian?”
“Kayaknya si Gita,” bisik Maya. “Dia admin fanpage Tim Raka. Katanya dia mau bikin fan meeting virtual.”
“GUA BUKAN IDOL!”
Raka baru masuk kelas beberapa menit kemudian, disusul Alvin yang muncul dari pintu belakang dengan langkah santai. Begitu keduanya muncul, suasana langsung kayak pertandingan bola. Beberapa anak langsung bersorak.
“WOY! TIM RAKA MASUK LAPANGAN!”
“ALVIN DATENG NIH! BALAS SERANGANNYA!”
Maya menepuk dahi. “Oke, fix. Sekolah ini udah nggak bisa diselamatkan.”
Raka melirik Nadia sebentar—hanya sepersekian detik—tapi cukup bikin darahnya naik ke pipi. Alvin melihatnya juga, lalu tersenyum jahil.
“Nad,” katanya sambil duduk di bangkunya, “kalau polling minggu depan gua menang, lu traktir es krim, ya?”
“Apaan sih?!”
Raka mengerling tanpa bicara, tapi senyum kecil di ujung bibirnya jelas bukan kebetulan.
Maya, tentu saja, jadi narator tak resmi dari kejadian itu. “Pemirsa, tampaknya tensi semakin meningkat antara dua kandidat utama perebutan hati Nadia.”
“May, sumpah, kalau lu terus ngomong kayak komentator, gua keluar kelas.”
“Tenang,” kata Maya santai. “Tapi kalo lu keluar, kamera bakal nge-zoom ke Raka yang mandangin lu dengan penuh arti. Classic scene banget.”
Nadia menatap langit-langit kelas, benar-benar pasrah. Hari baru dimulai, dan ia sudah ingin pindah planet.
***
Bagi kebanyakan orang, Raka adalah definisi dari kata dingin. Bicara seperlunya, ekspresi datar, dan tidak pernah ikut campur urusan gosip. Tapi minggu ini, ada sesuatu yang berubah — hal kecil, tapi cukup membuat Maya menatapnya curiga dari jauh seperti detektif dengan kacamata hitam imajiner.
Pagi itu, Nadia sedang berdiri di depan loker sambil berusaha membuka kunci yang entah kenapa tiba-tiba macet. “Seriusan, ini kenapa lagi sih? Kayak hidup gua, seret di mana-mana.”
Maya, yang berdiri di sebelahnya, menatap santai sambil minum susu kotak. “Tenang, mungkin lokernya juga stress karena gosip lu.”
“Lucu banget, May. Ntar juga lu yang gua kunci di dalam sini.”
Saat Nadia akhirnya menyerah, suara langkah pelan terdengar dari belakang.
“Pindah dikit.”
Nadia menoleh. Raka berdiri di sana, wajahnya datar seperti biasa, tapi matanya menatap ke arah loker. Tanpa menunggu persetujuan, dia mengambil kunci dari tangan Nadia. Sekali putar, klik!—loker terbuka sempurna.
“Udah,” katanya singkat.
Nadia memandang kunci di tangannya, lalu menatap Raka. “Lu ... buka ini cuma pake tenaga tangan?”
Raka mengangkat alis. “Terus mau pake tenaga pikiran?”
Maya langsung menahan tawa, hampir muncrat susunya.
Nadia mendengus pelan, menutup loker dengan hati-hati. “Ya makasih, sih. Tapi jangan bikin gue ngerasa lemah banget gitu, dong.”
Raka tidak menjawab. Tapi sebelum berbalik pergi, dia tiba-tiba menyentuh pintu loker Nadia sebentar—memastikan kuncinya terpasang sempurna.
“Udah kenceng. Jangan dipaksa buka, ntar rusak.” Sekilas, nada suaranya terdengar... lembut. Bukan datar, bukan dingin—lebih seperti seseorang yang benar-benar memperhatikan.
Maya langsung menatap Raka seperti wartawan yang baru dapat berita eksklusif.
“Oh wow, itu barusan kayak... soft moment alert!”
Raka menatap Maya tanpa ekspresi. “Apa?”
“Gak, gak. Cuma ngomong sendiri.” Maya senyum polos, padahal matanya jelas berkilat nakal.
Begitu Raka melangkah pergi, Maya langsung berbisik ke Nadia, “Lu nyadar gak barusan? Nada suaranya tuh kayak cowok di ending drama romantis yang akhirnya ngomong lembut setelah sepuluh episode diem.”
Nadia menatap sahabatnya datar. “May, lo tuh kebanyakan nonton drama deh.”
“Tapi emang iya, Nad. Tuh cowok ngelakuin hal kecil tapi dengan efek booom besar. Liat deh, lu aja sekarang mukanya merah.”
“Bukan merah, panas. Gua kesel.”
“Yakin bukan deg-degan?”