Hari Senin biasanya identik dengan malas, tapi pagi ini terasa lebih damai bagi Nadia. Tidak ada tatapan aneh di lorong, tidak ada teman yang sengaja nyengir sambil bilang “Eh, itu calon pacarnya tuh!” Sekolah seakan mulai lupa gosip tentang dirinya, Raka, dan Alvin. Dan Nadia, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, bisa menarik napas lega.
Sampai Maya datang. “Selamat pagi, calon peserta eksperimen sosial cinta,” sapa Maya ceria begitu duduk di sebelah Nadia.
Nadia mengerjap. “... Apa?”
Maya menepuk meja seperti dosen yang baru memulai kuliah. “Dengerin, Nad. Gua udah mikir semalaman. Lu tuh butuh latihan.”
“Latihan apa, May? Kita gak ada ujian.”
“Latihan emosional. Latihan mengontrol detak jantung lu biar gak kacau tiap Raka atau Alvin nyebut nama lu.”
Nadia mendesah berat. “May, sumpah ya, lu tuh kayak versi manusia dari notifikasi yang gak bisa dimute.”
Maya mencondongkan badan, berbisik dramatis. “Coba lu pikir. Dua cowok jelas-jelas mulai nunjukin perhatian. Lu panik, lu bingung, lu denial. Ini waktunya lu latihan supaya bisa tetap cool di depan mereka.”
“Dan latihan itu maksud lu gimana?”
“Gampang.” Maya tersenyum lebar. “Hari ini, lu harus bisa ngobrol santai sama salah satu dari mereka. No blushing, no gugup, no kabur.”
Nadia menatapnya datar. “Lu kira gua robot?”
“Enggak, tapi lu calon legenda.”
“Leg—apa?”
“Legenda cewek yang berhasil kalem di tengah dua cowok yang berpotensi bikin sekolah ini nulis fanfic sendiri.”
“May, lu tuh... antara jenius sama bahaya tuh tipis banget.”
Maya mengangkat bahu santai. “Gua lebih suka disebut visioner.”
***
Jam istirahat tiba, dan seperti biasa, kantin sudah penuh. Maya menyeret Nadia ke meja pojok sambil berbisik penuh strategi.
“Oke, target satu masuk,” katanya sambil melirik ke arah pintu.
Raka baru saja masuk ke kantin, membawa nampan makanan dan duduk di pojok sendirian seperti biasa. Alvin belum terlihat.
“May, jangan mulai—”
“Kapan lagi, Nad! Ini momen latihan. Lu cuma perlu nyapa dia. Cuma nyapa! Nggak usah ngelucu, gak usah ngomong banyak.”
“Dan kalau gagal?”
“Gua catet di buku statistik pribadi.”
“May, serius, ini—”
Terlambat. Maya sudah mendorong bahunya pelan. “Pergi sana. Tiga detik lagi dia buka botol minumnya. Sekarang timing paling pas.”
Nadia menarik napas dalam-dalam, berdiri, dan berjalan pelan menuju meja Raka. Satu, dua, tiga langkah. Langkah keempat—
“Eh, Raka!”
Raka menoleh, sedikit terkejut. “Hm?”
“E ... itu ... sendok lu jatuh.”
Raka menatap meja. Sendoknya? Aman. Nadia menatap ke bawah. Yang jatuh? Sendoknya sendiri.
“Oh. Gua kira—yaudah. Hehe.”
Raka menatapnya beberapa detik, lalu memungut sendok itu dan menyerahkannya pelan.
“Ini, jangan gugup gitu. Gua gak gigit.”
“Siapa bilang gua gugup?”
“Lu ngomongnya terlalu cepat buat orang yang gak gugup.”
Nadia nyaris tersedak udara. “Gua cuma ... buru-buru balik ke meja.”
“Padahal gua kira mau duduk di sini.”
Nadia terdiam. “Apa?”
“Duduk aja. Banyak tempat.”
Suaranya datar, tapi entah kenapa terasa lembut. Nadia akhirnya duduk, masih mencoba menyusun napasnya.
Raka menatap makanannya lagi. “Maya suruh lu, ya?”
“Lho, kok lu tau?”
Raka tersenyum kecil—tipis banget, tapi nyata. “Kalimat pembukanya khas Maya banget. Eh, duluan, baru kata benda random.”
Nadia mendengus. “Oke, lu resmi mengenal pola sahabat gua.”
“Terlalu sering liat dia beraksi.”
Keduanya tertawa kecil, lalu diam. Tapi kali ini, diamnya gak canggung. Hanya ... tenang. Sampai tiba-tiba—
“Woy, dua sejoli lagi sarapan bareng!” suara berat dan familiar terdengar dari arah pintu.
Nadia langsung menoleh. Alvin berdiri di sana, senyum lebar, nampan di tangan.
Maya di meja seberang langsung berseru, “DUA TARGET SEKALIGUS, REKOR DUNIA!”
“May!!!” teriak Nadia panik.
Alvin sudah duduk di sebelahnya sebelum dia sempat kabur. “Gua boleh join? Biar adil. Raka udah dapet sesi pelatihan duluan, katanya.”
Raka mengangkat alis, datar. “Latihan?”
“Ah, lu gak tau ya? Maya lagi ngelatih Nadia biar kuat di hadapan dua cowok berbahaya.” Alvin terkekeh. “Kayak reality show, tapi tanpa hadiah uang.”
Maya bertepuk tangan di meja lain. “Akhirnya, semua pihak paham konteks!”
Nadia menutup wajah dengan tangan. “Tolong, buka pintu darurat, gua mau keluar dari kehidupan.”
Raka menatap Nadia, senyum samar muncul lagi. “Tenang. Lu lulus latihan hari ini.”
Nadia menatapnya bingung. “Lulus apanya?”
“Soalnya lu gak kabur pas Alvin datang.”
Alvin mencondongkan tubuh, wajahnya dekat sekali dengan Nadia. “Atau jangan-jangan ... lu justru suka ada gua di sini?”
“ALVIN!”
Raka hanya menghela napas pelan, tapi dari ujung matanya, terlihat jelas sesuatu berubah—antara geli dan ... sedikit tersinggung.
Maya, yang menyaksikan dari jauh, menulis sesuatu di buku catatannya. “Catatan hari ini: latihan berjalan sukses, tapi risiko konflik meningkat tajam. Perlu evaluasi lanjutan.”
“Lu nulis apa lagi, May?” tanya salah satu teman mereka.
Maya tersenyum licik. “Skenario Bab 7 versi kehidupan nyata.”
***
Sore hari, saat semua sudah pulang, Nadia masih duduk di taman sekolah, menatap sisa embun di rumput. Maya duduk di sebelahnya, menyodorkan roti keju.
“Latihan gagal total,” gumam Nadia.
“Gagal apanya? Lu gak kabur, lu gak ngomel, dan lu gak pingsan. Itu udah prestasi.”
“Tapi kenapa semuanya jadi makin rumit, May?”
“Karena lu mulai peduli.”
Nadia terdiam. Suara Maya kali ini gak menggoda. Tenang, lembut, dan jujur.
“Kadang hal yang bikin ribet justru yang bikin lu sadar,” lanjut Maya pelan. “Dan kayaknya dua cowok itu... mulai sadar juga.”
Nadia menatap langit sore yang oranye muda. Hening beberapa detik. Lalu ia tersenyum kecil, lelah tapi hangat.
“Kalau gitu, latihan berikutnya apa?”
Maya menatapnya dengan mata berbinar. “Latihan menghadapi keduanya dalam satu kelompok tugas.”
Nadia spontan menatapnya ngeri. “JANGAN BILANG GUE—”
“Udah dicek. Nama kalian bertiga satu kelompok di proyek minggu ini.”
Nadia mematung. “May.”
“Ya?”
“Lu tuh karma gua dalam wujud manusia.”
Maya tertawa keras. “Tapi lu cinta gua kan?”
“Sayangnya iya.”
“Baik, untuk proyek Biologi minggu ini, kelompok akan dibentuk berdasarkan urutan daftar hadir,” kata Bu Rini sambil menulis di papan tulis.
Nadia menunduk, menatap daftar nama di buku catatannya.
Nomor 15: Nadia.
Nomor 16: Raka.
Nomor 17: Alvin.
Seketika seluruh darah di wajah Nadia menguap.
“Ya Tuhan, beneran?” gumamnya pelan.
Dari sebelah, Maya menahan tawa sampai bahunya bergetar. “Wah, alam semesta mendukung eksperimen gua.”
“May, ini bukan eksperimen. Ini kutukan.”
Raka yang duduk dua baris di depan menoleh sedikit, seolah mendengar gumamannya. Alvin yang duduk di belakang langsung bersiul pelan.
Dan Bu Rini menambahkan, “Kalian bertiga akan meneliti tentang proses fotosintesis dan membuat laporan serta model mini ekosistem.”
Maya langsung menepuk meja. “Ekosistem cinta juga boleh gak, Bu?”
“Mayaaa.” Nada Bu Rini meninggi sedikit. “Kamu bukan satu kelompok.”
“Tapi saya bersedia jadi pengamat, Bu.”
“Tidak usah. Duduk.”
Kelas tertawa. Nadia menutup wajah dengan tangan.
Jam istirahat, mereka berkumpul di taman belakang sekolah. Raka membawa buku catatan dan pena. Alvin membawa keripik dan minuman botol. Nadia … membawa rasa ingin kabur.
“Gua rasa kita bisa mulai bagi tugas,” kata Raka dengan nada tenang tapi tegas. “Gua bagian riset literatur, Nadia bisa buat laporan tulisnya, Alvin bikin model ekosistemnya.”
Alvin mengangkat alis. “Model? Serius? Lu yakin gua bisa?”
Raka menatapnya datar. “Enggak. Tapi kalau gua yang ngerjain, lu bakal ngelawak sepanjang waktu.”
“Wah, berarti lu udah kenal gua banget, Rak,” jawab Alvin dengan senyum lebar. “Manis juga lu.”
Raka menghela napas. “Alvin, tolong jangan bikin setiap kalimat terdengar kayak flirting.”
“Gak bisa, Rak. Itu setting bawaan lahir.”
Nadia hampir tersedak keripik yang baru dimakan. “Tolong, bisa gak kita bahas klorofil dulu sebelum perang dunia ketiga dimulai?”
Raka menatap Nadia. “Oke. Jadi untuk eksperimennya, gua mikir kita bisa nanam kacang hijau dan amati pertumbuhannya.”
Alvin menimpali cepat, “Atau kita nanam bunga matahari, biar estetik. Lumayan buat foto-foto.”
“Ini proyek Biologi, bukan konten TikTok,” kata Raka.
“Eh, tapi kalau ada nilai plus buat kreativitas visual, siapa tahu Bu Rini suka,” balas Alvin enteng.
Raka menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Ya udah, bunga matahari. Tapi lu yang tanggung jawab kalau gagal tumbuh.”
“Deal!”
Nadia memandangi keduanya bergantian, lalu menunduk sambil bergumam, “Gua gak yakin ini proyek Biologi atau acara debat kreatif.”
Mereka mulai kerja kelompok sore itu di ruang OSIS yang kosong. Raka sibuk menulis, Alvin sibuk membuat label tanaman, sementara Nadia mencoba menjaga kedamaian dunia.
“Raka, bisa tolong kasih liat referensinya?” tanya Nadia pelan.
Raka menyerahkan catatannya. Tulisan tangan rapi, garis bawah berwarna, lengkap dengan diagram.