Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #8

Bab 8. Yang Tak Pernah Diucapkan

Senin pagi. Langit cerah, padahal hati Nadia masih kebawa sisa drama hujan hari Jumat. Begitu ia melangkah masuk gerbang sekolah, suasananya langsung beda, orang-orang bisik-bisik. Bukan bisik-bisik biasa—ini bisik-bisik versi sekolah mereka, yang artinya dramatis, lebay, dan tidak dididik untuk menjaga volume suara.

“Eh itu Nad!”

“Nad yang pulang sama Raka waktu hujan!”

“Alvin lihat gak ya?”

“Kemarin ada yang bilang payungnya dua-duanya warna biru. Cocok gak sih?!”

Nadia berhenti, menarik napas. Mencoba senyum, meski rasanya pingin guling-guling kabur ke UKS.

“Kenapa sih hidup gua harus kayak sinetron jam lima sore?” gumamnya pelan.

Saat itu juga, Maya muncul dari arah belakang dan langsung merangkul pundaknya.

“Selamat datang, tokoh utama! Lu trending lagi hari ini.”

Nadia mendengus. “Maya, gue mohon—tolong jangan tambah drama.”

“Gua gak nambah. Gue cuma… mengamati,” balas Maya sambil menatap kerumunan layaknya peneliti alam liar.

“Populasinya lagi agresif sejak pagi. Mereka berkembang biak cepat, Nad.”

“Maya. Itu murid, bukan kucing liar.”

“Murid juga bisa liar, kalo gosipnya juicy.”

Nadia memijat pelipisnya. “Please bilang ke gua kalau ini semua cuma halusinasi.”

“Bukan halusinasi. Realita. Lu seleb sekarang.”

Di ujung lorong, tiba-tiba muncul sosok tinggi berjaket abu-abu, Raka. Begitu dia muncul, volume bisik-bisik di lorong naik dua level seperti ada yang naikkin mixer sound system.

“Rakanya dateng!”

“Mereka ketemu gak ya?”

“Eh eh liat! Liat!”

Nadia refleks menunduk, rambutnya dijadikan tameng. Raka berhenti di depan loker, membuka pintu dengan tenang. Ia sempat menoleh sebentar, menangkap pandangan Nadia.

Nadia otomatis mengalihkan mata, pura-pura sibuk membuka kunci loker. Namun Maya yang berdiri di samping Nadia langsung melihatnya.

“Ohooo… dia ngeliat lu.”

“Gua tahu.”

“Dan lu pura-pura gak lihat?”

“Iya.”

Classic defensive move.”

“Maya, plis….”

Raka akhirnya berjalan ke arah kelas melewati mereka. Saat melewati Nadia, ia mengangguk kecil sambil berkata pelan.

“Pagi.” Suara datarnya biasa—tapi ada jeda sepersekian detik yang tidak biasa.

Nadia menjawab dengan suara kecil, “Pagi…”

Begitu Raka menjauh, Maya langsung menyerang dengan tatapan penuh kemenangan. “Lu liat itu?”

“Liat.”

“Itu bukan ‘pagi’ biasa, Nad.”

“Maya….”

“Itu ‘pagi’ yang disaring perasaan!”

Nadia menutup muka dengan buku. “Lu tuh kenapa sih ….”

Belum selesai drama pertama, tiba-tiba suara riuh muncul dari arah tangga. Seseorang turun sambil mengikat rambutnya dengan satu tangan—gaya sok keren yang cuma cocok buat satu orang di sekolah itu.

Alvin. Dan seperti biasa, begitu dia muncul, beberapa cewek otomatis heboh.

“Alvin! Ih lucu banget.”

“Aku mau pingsan deh.”

“Dia mirip idol Korea campur karakter webtoon.”

Sementara itu, Alvin menuruni tangga sambil sesekali bersiul. Tapi hari ini… langkahnya sedikit melambat melihat Nadia. Dan senyumnya—biasanya lebar—kali ini muncul kecil, agak ragu.

“Nad… pagi.” kata Alvin sambil menggaruk tengkuk.

Maya menyikut Nadia pelan. “Beda juga nih nada pagi-nya.”

Nadia hanya memutar bola mata.

Alvin menatap Raka yang baru saja berbelok di ujung lorong. Tatapannya tidak sengit, tapi jelas penuh pertanyaan yang dia simpan sendiri.

“Lu udah sarapan?” tanya Alvin ke Nadia.

“Tadi makan roti doang.”

“Harusnya makan lebih banyak. Lu gampang pucat kalau belum makan.”

“Lu sekarang peduli gizi gua?”

“Ah, enggak juga sih. Cuma—ya… lu tau lah.”

Biasanya Alvin ngomong begitu sambil bercanda, tapi hari ini nadanya lebih halus, lebih hati-hati.

Maya langsung membaca situasi seperti FBI. “Vin… lu baik banget pagi ini.”

Alvin tersentak. “Apaan sih. Biasa aja ah.”

“Lu bukan tipe yang bilang ‘lu harus makan lebih banyak’ tanpa alasan.”

Alvin mencoba membelokkan percakapan seperti pesulap. “Eee… ya gimana, kan… manusia harus makan.”

“Tuh, kan!” Maya menunjuk wajahnya. “Itu bukan jawaban orang normal.”

Nadia menepuk lengan Maya. “Udah, jangan ganggu.”

Alvin berdeham kecil, mencoba kembali jadi dirinya yang santai.

“Gua duluan ke kelas, ya. Lu jangan tiba-tiba ngilang.”

“Apa sih, gua gak pernah—”

“Tapi lu suka jalan tanpa nunggu.”

Nadia terdiam. Itu bukan omongan genit. Itu omongan… perhatian.

Alvin melangkah pergi, tapi sebelum berbelok, ia sempat melihat ke arah Raka—yang kebetulan menoleh bersamaan, sekilas, singkat. Tapi jelas ada sesuatu di antara dua tatapan itu.

Maya langsung berbisik. “Gua ngerasa kayak lagi nonton drama Korea versi live action.”

“Maya, bisa gak sehari aja… lu diem.”

“Gak bisa. Gua terlahir untuk dokumentasi momen penting dalam hidup lu.”

Nadia akhirnya berjalan ke kelas, melewati lorong yang masih penuh bisik-bisik.

“Eh itu dia.”

“Nadia… Alvin tadi nyamperin kan?”

“Raka juga bareng dia waktu hujan!”

“Kalian lagi segitiga romantis gitu gak sih?”

Nadia menghela napas panjang sambil menutup muka dengan buku. Maya merangkulnya sambil jalan.

Lihat selengkapnya