Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #10

Bab 10. Mulai Bicara

Pagi itu langit pucat, seolah baru bangun tidur lebih telat dari manusia. Matahari belum benar-benar naik, hanya semburat oranye halus yang menyelinap dari balik gedung sekolah.

Nadia melangkah masuk gerbang dengan langkah lebih lambat dari biasanya. Ia tidak tahu kenapa datang lebih cepat—mungkin karena otaknya penuh sejak semalam. Begitu banyak hal terjadi dalam waktu singkat, dan semuanya berputar lagi tiap kali ia terpejam.

Alvin. Raka. Mata mereka, sore itu.

Nadia menggelengkan kepala cepat-cepat. “Udah, stop. Jangan mulai pagi-pagi.” Ia menaiki tangga menuju lantai dua, merapikan rambut yang tertiup angin.

Koridor masih sepi kecuali beberapa anak OSIS yang sibuk memasang poster. Nadia melewati mereka, membuka pintu kelasnya… dan berhenti. Beberapa anak menatapnya. Bukan tatapan biasa, tatapan “yang tahu sesuatu”.

Nadia langsung merasa ada yang nggak beres.

Dira, salah satu teman sekelas, melambaikan tangan sambil berbisik ke temannya. Dua anak cowok di belakangnya langsung merapikan posisi duduk seolah ketahuan ngerumpi. Sementara Sella menatap Nadia dengan mata melebar seperti habis nonton drama.

Nadia belum melangkah satu meter pun ketika Dira memanggil, “Naaad… tumben pagi banget?”

“Lah, gua gak sepagi itu.” Nadia memaksa senyum sambil berjalan ke mejanya. “Ini jam tujuh lewat kok.”

“Biasanya lu dateng mepet bel,” seru Sella.

“Biasa aja, kek.” Nadia duduk, membuka tas seolah tidak ada yang aneh. “Kenapa sih lu pada ngeliatin gua gitu?”

Mereka berdua saling pandang, sebelum Dira mendekat sambil berbisik dramatis, “lo udah liat grup kelas?”

“Hah? Grup kelas kenapa?”

Dira langsung menarik kursi dan duduk dekat Nadia. “Ya ampun Nad… lo gak liat? Gila sih… rame banget.”

Nadia meraih ponselnya keluar. Puluhan notifikasi muncul di chat. Ia membuka grup kelas. Dan langsung membeku. Ada foto, satu foto, foto dirinya di gerbang sekolah… berdiri di tengah, Alvin di kanan dan Raka di kiri. Ketiganya tampak seperti pemain drama Korea versi KW, cahaya sore yang hangat, ekspresi canggung, jarak yang terlalu dekat untuk dianggap ‘biasa’.

Caption seseorang:

“WOY INI APA NIH???!!! LOVE TRIANGLE?!”

Balasan lain:

Gila Nad, OP banget.”

“Alvin VS Raka confirmed???”

“Kok gua jadi tim Raka ya?”

“Gua tim Alvin dong, lucu banget reaksinya kemarin.”

Nadia langsung menutup mulutnya dengan tangan. “Ya. Tuhan.”

Sella meraih bahunya cepat. “Nad… maaf ya, tapi ini seru banget.”

“Seru APANYA?!” Nadia menutup wajah dengan kedua tangan. “Mati gua, mati.”

Beberapa anak lain mencuri pandang lagi. Dira berkata dengan nada sok serius, “Tenang, Nad. Gua udah usir yang nyebarin pertama kali. Tapi telat… soalnya udah disebar ulang lima puluh kali.”

“GUA BELUM BAHKAN BICARA SAMA ALVIN ATAU RAKA PAGI INI!”

“Kalo ngomong, ngomongnya gimana?” Sella menyanggah dagu. “Lu mau bilang apa? ‘Halo guys, jangan salah paham, cuma ketemu di gerbang’? Mereka gak akan percaya.”

“Nah itu dia!” Nadia menutup tas sambil mendesah panjang. “Bukan salah paham juga sih, cuma… ya… ya ampun, gua gak tau.”

Dira mengamati wajah Nadia dengan penuh minat, seperti peneliti mengamati makhluk langka. “Tapi… lu kelihatan nervous.”

“Siapa yang gak nervous kalau difoto begitu?!”

“Bukan soal fotonya.” Dira menyempitkan mata. “Tentang dua orangnya.”

Nadia ingin pura-pura tidak dengar.

Tapi wajahnya memanas semudah LED lampu. “No comment,” katanya cepat.

Tiba-tiba ponselnya bergetar—chat masuk dari Alvin, “Nad… lu udah di kelas? Jangan kaget kalau anak-anak heboh.” Getaran kedua—chat masuk dari Raka, “Lu udah sampai? Kalo ada yang bikin lu gak nyaman bilang gue.”

Nadia menatap layar. Perutnya seperti diaduk. Dua pesan, dua gaya, dua perhatian yang beda bentuk, tapi sama-sama bikin napas susah teratur.

Sella yang duduk di depan langsung merebut ponselnya dari tangan. “NADIA! Ada dua cowok yang ngechat gini barengan? Nih ya, kalo hidup gua kayak lu sekarang, gua udah bikin vlog harian ‘Love Triangle Diaries’.”

“Balikin!” Nadia meraih ponselnya lagi. “Kayak gini aja gua udah mau masuk tanah.”

Dira menepuk punggungnya. “Tenang, Nad. Drama hari ini baru mulai.”

Nadia mendesah, mengubur muka di meja. Ia belum tahu, tapi dari ujung pintu kelas… Alvin baru muncul—dengan wajah kayak orang dikejar deadline. Dan di belakangnya, dua meter jarak… Raka masuk pelan. Dua-duanya berhenti bersamaan ketika melihat Nadia. Suasana kelas hening sedetik. Lalu berisik lagi, lebih berisik, dan yang paling memalukan, dan beberapa anak kelas langsung bersiul.

Nadia ingin jatuh pingsan saat itu juga.

***

Suara siulan kecil belum sepenuhnya hilang ketika Alvin melangkah masuk kelas, mencoba terlihat santai padahal langkahnya lebih kaku dari biasanya. Raka mengikuti dari belakang, wajahnya—seperti biasa—tanpa ekspresi jelas, tapi matanya sekilas mencari seseorang. Dan orang itu sedang menunduk dalam-dalam di mejanya, menatap buku kosong seolah berharap bisa teleport dari situ. Nadia.

Alvin berdiri di samping meja Nadia dengan ragu. Biasanya, ia langsung duduk di kursi Maya dan ngobrol tanpa diundang. Biasanya, ia langsung melempar candaan receh. Biasanya, dia cerah, ribut, berisik. Tapi pagi ini… tidak. “Nad…” Alvin memanggil pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Lu gak apa-apa?”

Nadia mengangkat kepala perlahan, mencoba tersenyum. “Gua… masih hidup? Kayaknya sih.”

Lihat selengkapnya