Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #11

Bab 11. Momen Kecil yang Menjadi Besar

Begitu Nadia dan Raka masuk kembali ke kelas, Maya tidak berhenti menatap mereka bergantian seperti nyamuk yang baru mencium bau darah segar. Tatapan yang tidak pernah berarti baik.

“Nadia,” Maya memanggil pelan tapi tegas. Itu suara yang biasanya ia gunakan untuk memulai interogasi.

“Apa?” Nadia mencoba lewat begitu saja.

Maya menaruh tangan di pundaknya. “Lu ikut gua.”

“Hah? Kemana?”

“Terapi.”

“APA?!”

Maya sudah menarik tas Nadia dari meja dan mendorongnya keluar kelas. Sella dan Dira bahkan tidak berani ikutan—mereka cuma melambaikan tangan sambil berdoa untuk keselamatan mental Nadia.

“Mayaaa tolong… gua lagi capek…,” rintih Nadia.

“Bagus,” jawab Maya enteng. “Klien lelah biasanya lebih jujur.”

“Ini bukan klinik!”

Maya mengabaikan teriakan itu dan membuka pintu perpustakaan. Perpustakaan sedang sepi—cuma ada dua kakak kelas yang belajar sambil makan wafer diam-diam. Maya memilih meja paling pojok, di balik rak tinggi, tempat suara bisa terdengar tapi tidak menganggu. Ia duduk, menepuk kursi di seberangnya.

“Duduk!”

Nadia menggerutu, tapi duduk juga.

Begitu sunyi, Maya langsung bersandar sambil menyilangkan tangan. “Oke. Pertanyaan pertama.” Nadanya seperti psikolog profesional—kalau psikolognya terlalu menikmati drama pasien. “Lu takut apa?”

Nadia berkedip. “Hah?”

“Gue tanya, lu takut apa, Nad?”

“Takut… apa sih maksud lu?” Nadia mengalihkan pandangan ke buku-buku di rak. “Gua gak takut apa-apa.”

“Tipikal manusia dalam penyangkalan,” gumam Maya. “Kalimat selanjutnya pasti ‘gua gak tau’. Dan setelah itu biasanya nangis.”

“GUA GAK NANGIS!”

“Belum,” Maya mengoreksi. “Oke. Kita ulang.” Maya mendekat sedikit, tatapannya lembut tapi tegas. “Kenapa lu keliatan bingung banget tiap Alvin atau Raka deket?”

Nadia menggigit bibir. “Aduh Maya, jangan mulai deh….”

“Gua harus mulai. Kalo enggak, lu bakal kayak ayam tanpa kepala sampe lulus.”

Nadia memeluk tasnya. “Gua gak bingung.”

“Lu bingung setengah mati.”

“Gak.”

“Nad.”

“Maya.”

Maya menghela napas panjang. “Oke, gini. Kita gak bahas Alvin. Kita gak bahas Raka. Kita bahas lu.”

Nadia menatap meja. “Gua? Kenapa gua?”

“Karena masalahnya bukan mereka.” Maya menunjuk dada Nadia. “Masalahnya di sini.”

Nadia menjadikan rambut sebagai tameng, menunduk.

Maya melunak sedikit. “Gua tau lu takut bikin orang salah paham. Lu takut jadi pusat perhatian. Lu takut disalahin. Lu takut pilih satu orang, karena lu takut ngecewain yang lain.”

Lihat selengkapnya