Cinta di Kotak Masuk Salah

Dariyanti
Chapter #12

Bab 12. Langkah Kecil yang Berarti

Pagi itu, lonceng masuk baru saja berbunyi, dan lorong sekolah perlahan terisi suara langkah sepatu, tawa para anak kelas sebelas, dan bau spidol dari papan tulis yang masih segar.

Nadia berjalan masuk kelas sambil menggenggam map tipis. Rambutnya yang sedikit kusut karena angin pagi berayun pelan saat ia melongok ke dalam ruangan. Begitu ia melangkah melewati pintu—suasananya langsung terasa. Beberapa anak menatap, tidak lama, tidak terang-terangan, hanya sepersekian detik… tapi cukup untuk membuat Nadia merasa ada tulisan besar ‘DIPERHATIKAN’ di dahinya.

Di baris kedua, dua anak cewek saling berbisik sambil menahan senyum. Di pojok kanan, ada yang melirik Nadia lalu buru-buru pura-pura baca buku.

Nadia mengedip cepat. “Astaga,” gumamnya pelan. “Apa lagi, sih?” Ia melangkah menuju bangkunya, duduk, lalu membuka map untuk berpura-pura sibuk. Belum sempat ia benar-benar fokus, suara yang familiar terdengar dari belakang, “Pagi.”

Nadia mendongak.

Raka baru masuk kelas, langkahnya santai seperti biasa. Tapi… ada perubahan kecil yang hanya Nadia yang sadar, tatapannya berhenti satu detik lebih lama dari biasanya sebelum ia duduk.

“Pagi,” balas Nadia, mencoba santai.

Raka menarik kursinya. Tidak ada senyum lebar. Tidak ada sapaan heboh. Tapi ada sesuatu dalam caranya menaruh tas—pelan, teratur—seolah ia tidak ingin mengganggu siapapun.

Entah kenapa, itu membuat jantung Nadia berdetak sedikit aneh. Ia buru-buru menunduk, mengusap wajah. Aneh, baru pagi sudah begini. Belum lima detik ia kembali membuka map, suara lain masuk dari pintu, “NAAAAD!”

Nadia langsung menutup wajah. “Ya Tuhan, dia.”

Alvin muncul dengan tawa lebar, seragamnya sedikit berantakan—seperti biasa—dan rambutnya terlihat seperti habis berdebat dengan angin. Dia berjalan cepat ke bangkunya, menepuk meja Nadia dua kali sebelum duduk di kursinya.

“Pagi!” katanya cerah, lebih cerah dari biasanya. “Lu udah makan? Eh jangan jawab dulu, gua tebak, belum.”

Nadia memutar bola mata. “Udah kali. Kenapa sih lu.”

Alvin bersandar ke kursinya, tersenyum miring. Ada perubahan di senyumnya. Bukan lebih besar… tapi lebih hati-hati. Seolah ia menurunkan volume dirinya supaya tidak bikin Nadia terperangah. “Gua bawain roti,” katanya sambil mengeluarkan bungkus kecil dari tas. “Tapi kalo lu udah makan ya, bagus. Roti ini buat… ya udah, buat gua sendiri.”

Nada suaranya ringan, tapi ada hati-hati kecil di ujungnya. Nadia merasakannya. Aneh, semua terasa sedikit berbeda. Alvin masih Alvin… tapi versi yang lebih lembut. Raka masih Raka… tapi versi yang lebih dekat.

Nadia mengambil roti itu. “Kasih sini. Lumayan.”

Alvin langsung tersenyum kecil, seperti menang undian kecil.

Nadia membuka bungkus roti pelan-pelan, tapi matanya menangkap gerakan halus dari pojok, dua anak cowok sedang mengamati mereka sambil pura-pura memainkan HP. Nadia mendesah. “Mereka kenapa sih…?”

Alvin mengikuti arah pandang Nadia. Begitu melihat dua anak itu melipat badan seperti ketauan nyontek, Alvin terkekeh. “Ya… lu tau kan. Orang-orang suka drama. Dan tiga orang pulang bareng? Itu drama yang cukup gede buat mereka.”

Raka, yang sejauh ini hanya mendengarkan, akhirnya bicara pelan.

“Biarin aja. Nanti juga bosan.”

Nadia menoleh. Ada sesuatu di mata Raka saat ia mengatakan kalimat sederhana itu. Sesuatu yang terlihat… ingin melindungi tanpa membuatnya sadar.

Alvin juga melirik ke Raka, seolah menangkap nada itu, sebelum kembali ke Nadia. “Lagipula,” Alvin menambahkan sambil memutar bolpen di jarinya, “gua gak masalah kalo mereka mau ngomongin apa. Yang penting lu gak keganggu.”

Kalimat itu membuat Nadia berhenti menggigit roti. Hatinya terpelintir sedikit. “Gua… gak keganggu. Cuma… canggung.”

“Canggung itu wajar,” Alvin menjawab, kali ini lebih pelan. “Lu gak sendirian.”

Lihat selengkapnya