Istanbul, Turkiye.
Di sebuah mansion mewah di kawasan elit selat Bosphorus, tampak seorang pria tengah berdiri, menatap Bosphorus yang berayun-ayun tenang dipayungi langit biru melalui kaca lebar di kamarnya.
Mension mewah itu terletak di dataran tinggi, sehingga keindahan selat Bosphorus dengan dua jembatan megah--yaitu jembatan Bospharus dan jembatan Fatih Sultan Mehmet, sangat jelas terlihat memesona dari balik kaca jendela kamarnya.
Kedua jembatan yang merupakan ikon kota Istanbul itu memisahkan Ortaköy--di sisi Eropa Istanbul dengan Beylerbeyi--di Anatolia, pada sisi Asia.
Pria di balik jendela kaca itu masih terpaku memandangi tenangnya selat Bosphorus yang berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini.
Ia masih memikirkan ucapan ayahnya tadi malam.
"Kemal, mau sampai kapan kamu akan terus bermain-main dan berpetualang? Baba dan Annen sudah semakin tua, kelak dirimu-lah yang akan menjalankan bisnis dan semua perusahaan yang Baba rintis selama ini."
Kemal hanya diam. Ia hanya mendengarkan saja, apa yang ayahnya sampaikan.
"Besok Baba dan Enne akan berangkat ke Jakarta, melihat perkembangan kantor cabang di sana. Seharusnya itu adalah tanggung jawabmu."
Pria yang sudah memasuki usia lima puluh lima tahun itu, ikut duduk di pinggir tempat tidur--disamping Kemal.
"Mungkin beberapa minggu, kami akan berada di Jakarta, sekaligus menghadiri acara aqiqah keponakanmu. Jika kamu mau menghadiri, kamu bisa menyusul, acaranya akan diadakan satu minggu lagi." Pria paruh baya itu lalu berdiri.
"Umarım düşünürsün." Ayahnya menepuk pelan pundak Kemal.
(saya harap kamu memikirkannya)
"Yapacağım, çok sağol, Baba."
(Akan saya lakukan. Terimakasih, Ayah)
Memang, sudah terlalu lama Kemal bermain-main. Sejak menyelesaikan studi S1-nya di University of Paris dua tahun yang lalu, Kemal masih enggan untuk fokus menjalankan bisnis keluarga. Ia hanya asyik berpetualang kesana-kemari, memuaskan hobinya untuk menjelajahi tempat-tempat yang baginya menantang jiwa adrenalinnya.
Bahkan saat ini, untuk mengambil gelar magister, ia lebih memilih kuliah jarak jauh.
Suleiman Al Qonuni--Ayah Kemal, adalah seorang yang lembut, bijak dan selalu menggunakan cara-cara yang diplomatis. Baik itu terhadap keluarga, rekan bisnis atau pun ketika berhadapan dengan bawahannya. Pemilik perusahaan Suleiman Group itu, tidak pernah bersikap kasar, walau dalam keadaan marah, ia masih bisa menahan emosi di dalam dirinya. Bagi Pak Suleiman, jika amarah itu di tumpahkan, bukan penyelesaian yang akan didapatkan, melainkan penyesalan yang berujung pada menyakiti hati si penerima.
Sifat serta karakter itulah yang menjadikan miliarder asal Turki itu disegani oleh keluarga, karyawan dan juga kolega-koleganya.
Namun, sifat Pak Suleiman, berbeda dengan Kemal. Dalam menyelesaikan masalah, Kemal tidak suka bertele-tele, ia lebih memilih langsung to the point. Kemal termasuk pribadi introvert. Ia tidak terlalu suka berada di tempat-tempat keramaian dan lebih suka menyendiri.
Meski di luar sana Kemal dikenal sebagai pria yang angkuh, dingin dan berkuasa, tetapi Kemal memiliki rasa cinta dan hormat yang tinggi terhadap kedua orang tuanya. Ia tidak pernah berani membantah, selalu menuruti apa saja yang diperintahkan kepadanya. Apa pun yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya, Kemal pasti mengikuti.
Sejak kecil, orang tua Kemal selalu memilihkan yang terbaik dalam memenuhi kebutuhannya. Mulai dari apa yang ia makan, yang ia pakai sampai dengan urusan pendidikan, semua tak lepas dari pilihan dan bimbingan kedua orang tuanya.
Bagi Kemal, itu tidak menjadi masalah, karena ia selalu berpegang pada apa yang dikatakan oleh idolahnya, “Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
Hadist dari nabinya itu yang selalu ia pegang hingga ia dewasa.
Namun, tatkala ayahnya meminta untuk memimpin kantor cabang di Jakarta--sebagai masa training bagi dirinya, sebelum ia memimpin kerajaan bisnis Perusahaan Suleiman Group. Kemal meminta waktu. Pria berahang kokoh itu merasa belum siap.
Bagi Kemal, sebelum ia mendapatkan gelar Magister-nya, sebelum ia menikah dan menyandang status sebagai kepala keluarga, Kemal merasa belum percaya diri untuk memimpin sebuah perusahaan yang tentunya memimpin banyak orang.