Cinta di Negeri Putih

ANDI RIRIN NOVIARTI
Chapter #2

Teman Misterius

Salah satu hal yang membuatku malas pulang kampung adalah pertanyaan yang sama. Rasanya banyak beban di pundakku yang membuatku kadang terkungkung dalam pertanyaan yang sama, salah satunya adalah; Akankah aku menikah di usia 23 tahun? Aku semakin ragu menjawabnya.

Malam itu, selepas makan bersama keluarga, orang-orang asyik bercerita soal pernikahan kak Risa yang sudah dinanti-nanti keluarga. Pernikahan pertama di rumah kami.

“Sini, Nak!” panggil Ayah dengan lembut.

Aku beranjak duduk di sampingnya dan tidur dengan manja di bahunya. Kebiasaan yang selalu kulakuan saat pulang kampung, bermanja-manja dengan Ayah dan Bunda.

Topik yang tadinya begitu asyik di telingaku menjadi suara bising yang membuatku pusing saat Ayah mengeluarkan kriteria calon mantunya. Harus berdarah bangsawan. Belum lagi, mesti mapan sederajat. Tampan wajah dan hatinya juga menjadi salah satu pertimbangan Ayah. Sedang Ibu mensyaratkan; harus cerdas dan ada ketentuan uang panai alias mahar yang harus dibayarkan kepada mempelai wanita ketika meminangnya. Itu sebagai tolak ukur bahwa makin tinggi harga uang panai maka akan semakin dihargai dan dihormati seseorang.

Aku begitu kesal dan berniat berlari ke kamar.

“Memangnya ada lelaki sesempurna itu?” ketusku dalam hati.

Namun, aku tetap di tempat duduk dengan telinga yang sudah mulai memanas. Tidak sopan rasanya meninggalkan orang tua apalagi ketika berbicara. Aku tetap bersabar dan memilih diam. Rasa takut menentang Ayah dan Bunda membuatku kaku. Tapi, aku lebih takut ketika semua lelaki di dunia ini memilih mundur dan berkata 'aku tidak pantas' dan sebaiknya aku mencari lelaki lain saja. Hal ini membuatku terpaksa angkat bicara dengan pamit perlahan tanpa sepatah kata lagi selain permisi.

Pertanyaan tentang jodoh akhirnya berhenti ketika aku dipertemukan dengan seorang lelaki bernama Rian.

Hari menjelang petang. Aku baru pulang dari kampus. Aku hanya berjalan kaki karena jarak dari kampus ke kamar kosanku tidak begitu jauh. Tiba-tiba aku seperti mendengar suara lelaki yang agak parau dan keras memanggil-manggil dari belakang.

“Hai ..! Hai ...!” teriaknya tak jauh di belakangku.

Pikiranku lagi fokus untuk sampai ke kosan sehingga suara itu sama sekali tak menarik perhatianku. Aku tak ingin menengok ke belakang. Sama seperti tak ingin menengok akan masa lalu yang kurasa tak pantas untuk dikenang. Aku terus saja melangkah tanpa peduli bunyi sirine mobil ambulans yang berlalu di sampingku. Sesekali aku hanya menengok ke lampu merah yang berarti tanda larangan untuk menyeberang. Udara yang dingin sudah terbiasa berkawan dengan kulitku. Sedang debu dan polusi kendaraan menjadi teman setia perjalananku di malam ini. Entah bagaimana dan kepada siapa aku akan mengadukan masalahku.

Lihat selengkapnya