“Pagi, Ra.”
Sapaan demi sapaan terdengar di sepanjang koridor. Tidak sedikit anak-anak mengenal seorang Akira Khanzarumi. Sesosok perempuan tangguh yang sering mengikuti ajang perlombaan karate baik tingkat antar pelajar maupun nasional. Sebut saja dia “Dewi Perang”. Jika ada yang menyebutnya dengan sebutan seperti itu pasti akan membuat Akira tertawa pelan. Bagaimana bisa teman-temannya ini menjuluki dirinya dengan sebutan menyeramkan seperti itu.
Padahal dirinya hanya perempuan biasanya yang sangat mencintai karate. Namun, tidak buruk juga mendapat sebutan seperti itu. Terlebih selama ini dirinya hanya menyebutkan dirinya sebagai Dewi Tak Terkalahkan. Mungkin sebutan Dewi Perang itu tidak buruk.
Akira pun melangkahkan kakinya menaiki anak tangga satu per satu. Pikirannya mengarah pada perlombaan tingkat nasional yang diadakan kurang beberapa minggu lagi. Yang menjadi beban dirinya adalah jika ia sibuk berlatih sendiri, bagaimana nasib muridnya di dojo. Hal tersebut membuat Akira galau setengah mati. Sudah berminggu-minggu ini memikirkan hal ini, namun belum ada solusinya sampai sekarang.
Akira memasuki kelas, terlihat sudah ada segelintir anak yang bertengger manis sambil memegang ponselnya masing-masing, kebiasaan anak di kelasnya jika bel masuk belum berbunyi. Tatapan Akira mengarah pada bangku dekat jendela. Di sana sudah ada Cyra yang melambaikan tangannya sambil tersenyum senang.
“Ra, gue mau cerita!” pekik Cyra antusias.
Belum sempurna Akira mendudukkan dirinya, suara keantusiasan Cyra terdengar jelas. Selalu seperti ini jika Cyra ingin bercerita pasal kekasihnya yang tengah LDR. Sebenarnya bukan kekasih, mereka ini tidak pacaran, tetapi hanya komitmen. Entahlah pikiran mereka memang tidak bisa di tebak.
Akira hanya diam sambil menyimak perkataan Cyra. Sepertinya perempuan modis ini benar-benar sangat bahagia. Terlihat dari celotehannya yang beberapa kali tertawa kecil.
“Kak Luthfi mau pulang. Dia mau nemuin gue, katanya kangen. Rasanya baru kemarin Kak Luthfi lulus dan ninggalin gue. Dia juga sempat bilang ‘kenapa gue ketemu lo harus di saat-saat gue pergi, Ra? Seperti mantan-mantan gue sebelumnya. Gue takut kalau lo seperti mereka.’ Tapi gue jawab aja, ‘mantan lo bukan gue, Kak. Tapi, mereka. Gue ya gue bukan mereka atau pun orang lain.’ Berat enggak ya, Ra gue LDR begini?” Perkataan Cyra yang awalnya ceria mendadak murung. Perempuan modis itu nampak menyandarkan tubuhnya sambil menyilangkan kedua tangan di atas meja. Sangat khas Cyra ketika memikirkan sesuatu.
“Jalanin aja, Ra. Gue kan jomlo, jadi lo jangan takut,” balas Akira sedikit percaya diri.
Memang setelah kandasnya hubungan Akira dengan Rifqi, kini perempuan mungil itu belum memiliki pasangan hingga tanpa sadar sudah setahun hubungan Akira berakhir dengan seorang laki-laki. Itu pun karena Rifqi disukai salah satu temannya hingga membuat Akira memilih merelakan Rifqi dengan yang lain. Ia tidak mau disangka perebut gebetan teman sendiri. Sedikit naif memang menjadi Akira.
“Tapi, temen-temen gue yang lain kan pada bawa pacar, Ra, terus gue malu kalau mereka nanya kapan tanggal jadian gue,” keluh Cyra menundukkan kepalanya murung.
“Jawab aja komitmen. Lagi pula sekarang waktunya serius bukan main-main lagi. Buat apa bikin tanggal kalau ujung-ujungnya putus juga,” sahut Akira tidak mau kalah.
Obrolan panas mereka pun harus berakhir, sebab salah satu guru sudah memasuki kelas. Itu artinya bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. Namun, saking asyiknya berbincang hingga tanpa sadar Akira melupakan bahwa hari ini ada PR yang harus ia kumpulkan. Melihat beberapa temannya maju ke depan membawa buku tulis, sontak saja Akira kalang kabut.
Dengan tampang memelas Akira maju ke depan. Tentu saja ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya ini. Namun, ia juga membutuhkan toleransi. Sebab, sangat tidak lucu jika dirinya di hukum nanti. Tatapan Akira mengarah pada Cyra. Langsung saja ia merebut buku perempuan modis itu tanpa aba-aba.
Sementara Cyra hanya diam menyaksikan Akira yang tengah menyalin bukunya. Namun, lama-kelamaan banyak anak-anak di kelasnya yang mengumpulkan buku. Dengan berat hati Cyra pun menatap Akira yang terlihat sangat serius menyalin bukunya.
“Ra, anak-anak pada ngumpulin. Gue kumpulin dulu, ya?” pinta Cyra sedikit takut.