cinta ditengah Gelombang penjajahan

Fajar Sidik Triyanto
Chapter #1

Gelora perlawanan

Bab 1: Gelombang Penjajahan

Latar Belakang: Pelabuhan Desa di Hindia Belanda

Tahun 1910, Hindia Belanda. Di bawah langit kelabu yang diselimuti awan, angin lembut membawa bau garam dari laut. Pelabuhan desa itu seakan menjadi saksi bisu atas kesengsaraan rakyat pribumi yang hidup di bawah kekuasaan kolonial. Di sekeliling pelabuhan, terlihat kapal-kapal dagang Belanda yang berlabuh dengan bendera triwarna berkibar megah di atas tiang kapal mereka. Pelabuhan yang dulu tenang kini ramai oleh aktivitas perdagangan Belanda dan pribumi, namun tidak ada kesetaraan di sana. Pribumi dipaksa untuk tunduk di bawah kekuasaan para penjajah, dan segala kekayaan yang dihasilkan dari tanah mereka sendiri diambil untuk memperkaya para penguasa kolonial.

Di ujung pelabuhan, berdiri seorang pemuda dengan tatapan tajam, mengenakan pakaian khas bangsawan Jawa yang disulam dengan benang emas. Namanya Raden Prabowo, seorang pemuda dengan semangat membara untuk merdeka. Dalam keheningan, ia mengamati gerak-gerik penjajah di sekitarnya, sementara hatinya bergejolak oleh rasa dendam dan keinginan untuk bebas.

Raden Prabowo: (dalam hati) “Tiap hari kita semakin terjepit oleh mereka. Sampai kapan kita akan hidup di bawah bayangan kekuasaan asing ini?”

Sementara itu, beberapa meter dari tempatnya berdiri, seorang pria Eropa bertubuh tinggi dengan seragam perwira Belanda memperhatikan Raden Prabowo dari jauh. Perwira itu bernama Ernest Van Der Linde, salah satu pemimpin militer kolonial yang ditugaskan di wilayah ini. Ernest adalah pria berwajah keras dengan mata biru dingin, penuh percaya diri dan kebanggaan sebagai bagian dari kekaisaran Belanda. Bagi Ernest, pribumi hanyalah subjek yang harus tunduk dan diatur, meski terkadang ia terpesona dengan keteguhan hati seperti yang dilihatnya pada Raden Prabowo.

Ernest: (kepada bawahannya) “Pribumi itu... dia terlihat berbeda dari yang lain. Ada api di dalam matanya. Awasi dia.”

Di Kediaman Raden Prabowo

Sore hari itu, ketika sinar matahari mulai memudar di balik bukit, Raden Prabowo kembali ke kediamannya. Rumahnya, sebuah joglo besar yang dibangun dengan arsitektur Jawa klasik, berdiri kokoh di tengah-tengah sawah yang luas. Di dalam rumah itu, keluarganya masih menikmati kemewahan yang tersisa dari masa kejayaan mereka, namun ancaman dari pemerintah kolonial selalu mengintai.

Barlian, seorang pemuda yang telah menjadi sahabat Raden Prabowo sejak kecil, sudah menunggu di beranda. Barlian adalah sosok yang selalu setia, meskipun ia tidak berasal dari keluarga bangsawan. Pakaiannya sederhana, namun semangatnya untuk kemerdekaan tidak kalah besarnya dari Raden Prabowo. Barlian telah lama menjadi tangan kanan Raden Prabowo dalam perjuangan rahasia mereka melawan penjajah.

Barlian: “Prabowo, aku mendengar kabar bahwa semakin banyak warga desa yang dipaksa untuk bekerja di perkebunan tanpa bayaran. Mereka tidak bisa menolak, atau mereka akan dipenjarakan.”

Raden Prabowo menghentikan langkahnya, lalu menatap jauh ke depan.

Raden Prabowo: “Inilah yang membuat darahku mendidih, Barlian. Mereka menguras kekayaan kita dan memperlakukan rakyat kita seperti binatang. Kita harus melakukan sesuatu. Jika tidak, penderitaan ini akan terus berlanjut.”

Lihat selengkapnya