cinta ditengah Gelombang penjajahan

Fajar Sidik Triyanto
Chapter #4

Konflik Awal

Bab 4: Konflik Awal

Langit di atas Yogyakarta terlihat kelam, dipenuhi awan-awan gelap yang seolah mencerminkan suasana hati bangsa yang sedang berada di ambang ledakan emosi dan ketegangan. Kota ini, yang dulu damai dan tenteram, kini berubah menjadi medan pertempuran diam-diam antara penjajah Belanda dan rakyat pribumi yang mulai bangkit melawan penindasan. Di setiap sudut jalan, bayang-bayang perlawanan semakin terlihat nyata, menyebar dari satu kampung ke kampung lainnya. Rasa ketidakpuasan dan dendam yang sudah lama terpendam kini mulai memuncak.

Di tengah atmosfer yang semakin memanas, Raden Prabowo dan sahabatnya, Barlian, sedang menyusun rencana di sebuah rumah kayu kecil di pinggiran kota. Di sana, mereka merencanakan strategi untuk menyusup ke markas Belanda di malam hari. Barlian, seorang pemuda dari keluarga petani yang memiliki jiwa perlawanan yang sama besarnya dengan Raden, adalah sahabat terdekatnya sejak kecil. Mereka bersama-sama melihat kekejaman penjajah terhadap rakyat, dan bersama-sama pula mereka memutuskan untuk mengangkat senjata melawan penindasan itu.

“Prabowo, kita tidak bisa terus menunggu. Pasukan Belanda semakin dekat. Mereka mulai menyebarkan rasa takut di antara rakyat kita,” Barlian berkata dengan suara serak, matanya penuh semangat. "Kita harus bergerak sebelum semuanya terlambat."

Raden Prabowo mengangguk pelan. Di wajahnya terpancar tekad yang bulat, namun ada juga keraguan yang samar di dalam hatinya. Bukan keraguan akan perjuangan, melainkan kekhawatiran akan apa yang harus dikorbankan demi kemenangan itu. Ia tahu bahwa perjuangan ini tidak hanya akan mengorbankan jiwa, tetapi juga cinta, keluarga, dan masa depan yang ia impikan bersama Amara.

“Kita akan bergerak malam ini,” jawab Prabowo dengan suara tegas, memecah keraguan yang tersisa di dalam dirinya. “Aku sudah mengirim pesan kepada Ernest. Dia akan mengalihkan perhatian Belanda di pusat kota, sementara kita menyerang markas mereka di luar kota.”

Ernest adalah seorang pria Eropa keturunan Belanda yang memilih berpihak pada pribumi. Hubungan Ernest dengan Raden Prabowo sudah berlangsung cukup lama, sejak mereka bertemu di sebuah perkumpulan rahasia yang menentang kolonialisme. Ernest, dengan segala privilese yang ia miliki sebagai orang Eropa, sering menjadi mata-mata dan perantara informasi penting bagi kelompok perlawanan Prabowo.

Namun, keterlibatan Ernest juga membawa risiko besar. Ia harus menghadapi ancaman dari kedua belah pihak—dari para penjajah yang melihatnya sebagai pengkhianat, dan dari kaum pribumi yang masih meragukan kesetiaannya.

“Malam ini akan menjadi awal dari perlawanan yang lebih besar,” lanjut Prabowo. “Aku hanya berharap kita semua bisa selamat.”

Barlian tersenyum lebar, menepuk bahu Prabowo dengan keras. “Jangan khawatir, saudara. Jika kita mati, kita mati sebagai pahlawan. Dan jika kita menang, kita akan mengukir sejarah untuk anak cucu kita.”

Tepat ketika mereka hendak meninggalkan rumah itu, pintu terbuka perlahan, dan di sana berdiri Putri Amara. Wajahnya pucat, namun sorot matanya tetap tenang dan tegas. Amara, yang sudah mendengar rencana ini, tidak bisa membiarkan Prabowo pergi tanpa mengucapkan kata-kata terakhir.

“Prabowo,” panggil Amara dengan suara yang gemetar, “Aku tahu ini bukan pertama kalinya kau pergi untuk bertempur. Tapi perasaanku tetap sama, aku takut kehilanganmu.”

Lihat selengkapnya