Selama di perjalanan menuju Inggris, pesawat pribadi keluarga Helvin ramai. Sedetik pun tak hening, berkat Kakak beradik yang beradu mulut. Sama-sama tak mau mengalah. David coba berusaha tidak peduli, namun sifat risihnya berontak menyuruh untuk kedua Anaknya diam.Allahuakbar, kenapa sih?! Ada apa?!"
"Kak Hawa, nih! Ganggu Yusuf lagi main game!" adu Yusuf memasang tampang risih. Pantas mereka saling ganggu. Mereka duduk berdua. Mesti di pisahkan.
"Nggak, kok! Dia duluan yang ganggu Hawa buat tugas kuliah!" Hawa ikut mengadu. Laptopnya di atas pangkuan, ia jauhkan dari Yusuf.
"Hah, udahlah, udah! Hawa, kamu duduk dekat Mommy aja. Biar Daddy dekat Yusuf. Jangan sampai ada barang yang pecah lagi."
Posisi duduk berganti. David duduk di sebelah Yusuf. Sementara Hawa duduk di sebelah Mamanya yang sedari tadi diam menyimak. Nada lebih memilih menikmati makanannya, ketimbang harus ikut menengahi.
"Mau?" tawar Nada, menyodorkan camilan.
Hawa mengangguk. Mulutnya terbuka, menerima suapan Mommy nya.
Setelah keputusan David menyuruh mereka duduk terpisah, barulah suasana tenang. Jauh dari kata keributan. Akhirnya David bisa bernapas legah. Ia menyender, memperhatikan Anaknya bermain online.
Yusuf melirik kesamping. Sadar Daddy nya mengamati. Risih di tatap terus, Yusuf menawarkan suatu hal. Supaya fokus Daddy nya tak tertuju terus pada dirinya
"PUBG, kuy!"
"Kuy!"
Nada yang rupanya mengamati kelakuan Anak dan Suaminya di seberang, geleng-geleng kepala. Kalau dipikir-pikir, sifat David mulai mirip Daniel. Waktu luang ia pakai untuk bermain game. Terkadang David bercanda juga. Catat, terkadang. Bukan selalu layaknya Daniel. Jauh sekali sosok David sekarang dengan yang dulu.
Nada bersyukur. Mungkin jika takdir tak merestui mereka bertemu dan bersatu, belum tentu David bisa seperti ini. Agak manusiawi sedikit. Hidup pria itu tak lagi monoton.
"Mommy kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Hawa, menyadari Mommy nya tersenyum. Menyeramkan untuk dilihat.
Tanpa menoleh ke Hawa, Nada menjawab, "Mommy makin jacin sama Daddy, kamu. Gumuszz, deh!"
Krik... Krik...
"Ha?"
°°°
Kemarin keluarga Helvin sampai di Inggris, selang malam penobatan Pangeran Mahkota tiba. Tibanya malam yang di nanti-nanti, keluarga Helvin datang ke lokasi. Istana megah kepunyaan Inggris, yang nantinya akan menjadi saksi penobatan Sang Pangeran Mahkota.
Begitu kaki mereka baru keluar dari limmossin, sorot kamera langsung mengarah ke keluarga Helvin. Anggota keluarga itu berjalan pelan di atas karpet merah. Rombongan wartawan yang menyerbu, membuat mereka kesulitan masuk.
Saat situasi genting seperti itu cuma Yusuf yang tampak menikmati sorot kamera. Kilatan cahaya ketika kamera memotret dirinya. Yusuf melambaikan tangan ke semua orang yang hadir di luar. Tak jarang para wanita di sana, menjerit tatkala Yusuf tersenyum. Padahal senyuman itu tertuju asal. Tapi mereka malah menjerit, seolah senyuman Yusuf untuk mereka pribadi.
Untung anggota keamanan kerajaan segera datang, menepikan gerombolan wartawan. Dengan begitu, keluarga Helvin bisa lancar masuk ke aula utama.
"Please, jangan sok kegantengan. Yang di dalam lebih ganteng dari, Anda." komentar Hawa layaknya hujatan warganet, seraya berjalan masuk. Yang di maksudkan dari ucapan Hawa adalah si calon Raja. Pria yang malam ini akan menjadi pemeran utama.
Ujung mata pria itu melirik Kakaknya tak suka. Moment terbaiknya jadi terganggu oleh komentar sang Kakak. "Mata Kakak aja yang rabun. Yusuf emang ganteng sejak lahir. Kalo Yusuf gak ganteng, Daddy juga pasti gak ganteng."
"Sebenarnya kamu itu bukan Anak Daddy."
Tampak Yusuf terdiam kaku. Ia menatap Kakaknya, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Kamu itu ditemuin Daddy di jalanan, terus kami angkat deh jadi keluarga. Beruntung kamu bisa jadi Anak orang kaya." sambung Hawa, mati-matian menahan tawa.
Ia rasa, Adiknya itu percaya. Terlihat dari wajah Yusuf yang menegang. Aksi melambai tangan ke arah kamera pun, mendadak tak ia lakukan. Hawa jadi merasa bersalah, tapi sudah terlanjur berbuat. Yasudah, terus ia lanjutkan kebohongan ini. Kepalang tanggung.
"Sewaktu-waktu, kamu bisa aja dibuang sama Daddy. Hati-hati, loh. Kamu kan tau, Suf, Daddy itu paling gak suka sama orang yang pemalas. Gak berguna, gitu. Karyawan terbaiknya aja bisa Daddy pecat, karena gak becus. Apalagi kamu yang cuma anak pungut." lanjut Hawa, terdengar pedih untuk di dengar. Hawa pribadi saja yang berucap, merasa ucapannya sudah kelewatan.
Nada melirik Hawa. Ucapan Hawa ternyata Nada dengar. Nada pun menyahut, dengan cepat menghentikan kebohongan Anaknya yang kelewat batas.
"Hawa, Hawa, udah. Jangan nyebar hoax." lantas Nada meraih tangan Yusuf. Menggenggam telapak tangan putra nya itu. Ketika kulit Nada menyentuh kulit Anaknya, dingin yang Nada rasa. Sampai sebegitunya ucapan Hawa, hingga membuat Yusuf keringat dingin.
"Ya Allah, Hawa. Tangan Adek kamu sampe dingin loh ini."
Hawa tertawa serak. Menggaruk hijabnya bersalah, "Ya, maap. Orang cuma bercanda, kok. Baperan sumpah, jadi cowok."
"Ululuh, sayang, Anak Mommy. Yusuf itu Anak Mommy dan Daddy, kok." telapak tangan Yusuf, Nada kecup sayang. Membujuk Anaknya agar tak bersedih. Soalnya raut wajah pria itu seperti menahan tangisan. Merah padam dengan mata berkaca-kaca.
"Suf, mata kenapa? Kelilipan? Atau mau nangis?" sindir Hawa, tertawa geli. Tak menyangka Adiknya ambil hati atas ucapannya barusan.
Seketika mata Yusuf menajam. "Apa, sih? Gak lucu! Dasar Kakak durhaka, wajar jodohnya seret!" kesal Yusuf kelewat batas, sampai cercaan pedih meluncur di bibirnya.
David yang dari tadi terlalu fokus mendorong kursi roda Nada, baru menyadari pertengkaran kedua Anaknya terjadi lagi. Satu per satu David menatap Anaknya emosi.
"Berantem sekali lagi, kita pulang." ancam David serius.
Serentak Anaknya berucap, "Eh, jangan!"
°°°
Banyak orang berkelas yang hadir di malam penobatan Pangeran Mahkota. Pantas saja. Pemilik acara ini pun orang berkelas. Sebuah kehormatan sekali bagi David, keluarganya turut di undang.