Punggung seorang pria sudah nampak di tangkapan mata Hawa, begitu ia sampai di pekarangan Musholah. Sesuai pesan yang dikirmkan Adam, Hawa datang untuk menepati. Pelan-pelan Hawa melangkah mendekat agar tak mengganggu.
Belum bersuara, Adam sudah tahu kehadiran wanita itu. Tercium dari arom parfume-nya. Oleh karena itu, Adam berbalik. Sontak Hawa berhenti melangkah, tak jadi menyapa sebab pria itu sudah tahu ia datang.
"Assalamualaikum, Pak."
"Wa'alaikumsallam. Terima kasih sudah datang."
Tatapan mereka berbeda arah. Mana mungkin kedua orang itu saling bertatap lurus, meski keadaan mereka berada di khalayak ramai. Hawa tak biasa menatap mata pria secara langsung. Sedari awal datang, ia sudah mengambil posisi menunduk. Seperti tempo lalu Adam bertemunya, di sini. Di tempat yang sama.
"Ada yang mau ditanyakan?"
"Ha?" karena pertanyaan Adam yang aneh di dengar, Hawa hampir menatap mata pria itu. Tapi cepat-cepat ia menunduk. "Sa... Saya ke sini karena saya kira Bapak yang mau bertanya." lanjut Hawa, sesopan mungkin. Benar-benar aneh pertanyaan yang Adam lontarkan.
"Oh, soal itu." Adam menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Kamu sudah boleh masuk ke kelas saya. Hukuman kamu sudah berakhir."
"Ah, iya..." kepala Hawa mengangguk kecil sekedarnya.
Canggung menyelimuti mereka, sebab tak ada satupun yang bersuara. Mereka saling diam. Hawa menunggu Adam berbicara lagi, karena memang pria itu yang memintanya kemari. Berarti ada keperluan. Sementara Adam, bingung mendadak. Semua yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari untuk disampaikan kepada Hawa, lenyap begitu saja.
"Oh, iya, saya baru ingat." cetus Adam, memijat pelan dahinya seraya mengingat terus apa tujuannya kemari bertemu Hawa. "Saya kemarin berbincang sebentar dengan Pak Natsir. Kami sempat membahas beberapa tipikal Mahasiswa yang pernah kami temui. Dan beliau tiba-tiba membicarakan, kamu. Beliau mengatakan, kamu adalah mahasiswa yang berprestasi selama di kelasnya dulu."
Hawa menyimak semua perkataan Adam. Ia masih menebak-nebak apa yang akan Adam lakukan padanya. Adam pasti menyuruhnya bertemu karena suatu hal. Entah itu untuk meminta tolong padanya, atau hal lain. Pastinya mendesak.
"Saya pun memeriksa nilai kamu, ternyata emang bagus. Semuanya sempurna." puji Adam.
Selang sehari mengobrol dengan mantan Dosen Hawa selama di S1, Adam putuskan untuk memeriksa nilai Hawa. Meminjam buku rekap nilai Pak Natsir, selaku dosen Hawa dulu. Dan, kata-kata Dosen itu bukan bualan sekedar meninggikan Hawa. Mengingat Hawa Anak orang terpandang dan sangat berpengaruh di Universitas. Nilai Hawa menjadi bukti telak, bahwa wanita itu cerdas.
"Ngomong-ngomong, Pak Natsir juga merekomendasikan kamu saat itu."
Alis Hawa beradu. Merasa bingung mengenai Pak Natsir merekomendasikannya untuk apa?
"Maaf, Pak. Rekomendasi apa, ya?" tanya Hawa sopan.
"Menjadi Asdos saya,"
Membulat mata Hawa. Rupanya Pak Natsir merekomendasikannya sebagai Asisten Dosen. Tugas Asisten sangatlah susah. Memegang amanah yang berat, yaitu membantu dosen untuk mengajar Mahasiswa S1. Asisten Dosen memang ditujukan kepada Mahasiswa yang sudah melangkah ke S2. Atau Dosen yang cuma lulus S1 pun bisa. Asisten Dosen bisa dianggap sebagai kerja tambahan.
"Kenapa kayak terkejut begitu?" Adam terkekeh melihat raut wajah Hawa. Wanita itu bagai hilang nyawanya entah ke mana.
Mata Hawa berkedip berkali-kali. Menyadarkan diri dari rasa terkejutnya yang tak terkontrol. Raut wajah Hawa balik ke seperti semula. "Ah, ng... Nggak, Pak. Cuma... Sepertinya itu amanah yang besar sekali. Saya sulit membayangkannya."
"Ya, gak usah di bayangin semisal sulit. Jalanin aja." balas Adam logis.
Hawa agak dibuat kesal. Padahal ia tengah serius, Adam malah mengajaknya bercanda.
"Apa yang kamu sulitkan itu, hm?" Adam berubah serius. Rasa kesal Hawa jadi berkurang, karena Adam tak bercanda seperti tadi.
"Yah, gitu... Sulit aja rasanya. Itu kan, nantinya ngajar Mahasiswa S1." Hawa tersenyum kaku. Kentara sekali ia tak setuju dengan tawaran Adam.
"Memang. Tapi...," Adam melangkah ke sembarang arah. "Apakah kamu gak pikir, seberapa banyak pahala yang bakal kamu dapat? Membantu sesama saudara seiman itu merupakan ibadah juga, loh." ekor mata Adam diam-diam melirik Hawa.
Terlihat wanita itu diam, namun berpikir keras mengenai tawaran ini. Pertahanan Hawa harus Adam lumpuhkan terus.
Adam berbalik ke posisi awal ia berdiri. "Tenang aja. Kalo kamu berpikir hasil keringat kamu terbayar atau nggak, jelas ada bayarannya. Kamu bakalan di gaji setiap jadwal kelas. Gimana? Tawarannya menarik? Sudah dapat gaji, juga dapat pahala pula."
Hawa melirik Adam sesekali. Ia masih ragu antara merima atau tidak. Tawaran ini sangat menguntungkan. Di satu sisi, ia punya ketakutan jikalau tidak bisa membimbing para Mahasiswa nantinya.
"Kamu ragu karena takut kesulitan mengajar nantinya?" tebak Adam tepat sasaran. Hawa dibuat terkejut sekaligus kagum. Hebat sekali Dosen ini bisa mengetahui isi hatinya.
Melihat keterkejutan Hawa, senyuman Adam mengembang. Tebakannya berarti benar.
"InsyaAllah saya yang akan membantu, kamu. Jika nantinya menemukan kesulitan, kamu bisa datangi saya kapanpun. Namanya juga Asdos. Asisten Dosen. Itu artinya kamu tanggung jawab saya." dibagian tanggung jawab, tubuh Adam agak condong ke depan. Memberi penekanan di dua kalimat itu.
Entah sudah yang keberapa kali Hawa mendengar kata tanggung jawab Adam lontarkan, tiap kali mereka bertemu. Dipertemuan sebelumnya, Adam juga berkata kalimat yang sama.
Adam masih belum mendapat jawaban. Adam tahu, Hawa ragu untuk menerima tawaran darinya. Terlebih tawaran ini mendadak. Perlu dipikirkan matang-matang.
Adam menghela napas panjang, "Begini saja. Saya akan beri kamu waktu berpikir selama tiga hari."
Kepala Hawa terangkat. Adam kembali melanjutkan atas reaksi Hawa tersebut. "Pikirkan baik-baik tawaran saya selama tiga hari itu. Soalnya ini demi kebaikan kamu juga. Sekedar informasi, selain mendapatkan gaji dan pahala, kamu juga mendapatkan nilai tambahan di matkul saya."
Reaksi Hawa selanjutnya terlihat syock. Tentunya terkejut mendengar akan ada tambahan nilai baginya jika menerima tawaran ini. Kalau begini, pertahanan Hawa bertambah rapuh. Berurusan dengan nilai, Hawa cepat tergiur. Namun, Adam sudah memberikan ia waktu untuk berpikir. Setidaknya Hawa pakai dulu. Mungkin seiring berjalannya waktu, pikirannya bisa berubah.
"Baik, Pak. Akan saya pikirkan baik-baik."