Sehari lagi menginjak hari ketiga, artinya batas waktu yang diberikan Adam akan berakhir. Hawa bimbang, otaknya sejak pagi tadi terus memikirkan waktu yang kian menipis.
Dari kejauhan, Yasmine melirik Hawa yang duduk lemas di meja pemesanan. Yasmine sebagai sahabat dekat tahu, ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"Kenapa, lo?" tanya Yasmine, setelah menaruh kopi pesanan Hawa, lantas duduk berdepanan dengan wanita itu.
Kepala Hawa menggeleng singkat. Meski Hawa menggeleng mengaku baik-baik saja, Yasmine tetap tidak percaya. Terkadang Hawa tidak mau bercerita jika ada masalah.
"Kenapa? Jawab pertanyaan gue, dan coba sesekali jujur. Jangan sok kuat mendam masalah, entar meledak." sekali lagi Yasmine bertanya, kali ini mendesak.
Sekilas Hawa melirik Yasmine. Ia tengah bertengkar dengan egonya, antara mengalah untuk menceritakan permasalahannya atau tidak. Tapi, Hawa benar-benar butuh saran. Waktu mendesaknya, membuat Hawa terpaksa untuk jujur.
"Menurut lo, enak gak kerja sampingan sambil kuliah?"
Lontaran pertanyaan Hawa yang akhirnya mau bercerita, malah membuat Yasmine bingung. Seharusnya ia senang, bukannya dibuat aneh begini atas pertanyaan Hawa.
"Y... Ya, tergantung." jawab Yasmine ragu. "Kadang ada enaknya, kadang juga nggak."
"Yang enaknya gimana, yang nggak enaknya gimana? Coba ceritain!" paksa Hawa, menyuruh Yasmine bercerita secara detail.
Yasmine diam, tidak langsung bercerita. Pasalnya ia bingung dengan situasi sekarang. Tadi bukannya ia yang meminta Hawa bercerita, mengapa situasi malah terbalik? Justru ia yang Hawa paksa untuk bercerita.
Melupakan sejenak rasa bingungnya, Yasmine pun bercerita secara singkat namun detail tentang suka duka dunia pekerjaan.
"Bener kata lo kemarin. Dunia kerja itu emang keras. Kita dituntut buat siap sedia, gak baperan, dan tahan banting. Terlebih, buat karyawan yang kerjanya di toko kopi kecil kayak gue ini." bola mata Yasmine mengedar ke seluruh cafe kopi yang tengah mereka kunjungi. Tempat yang mau menerima pekerja Mahasiswa paruh waktu semacam dirinya, Yasmine pandang sangat bersyukur. Melalui cafe kopi kecil ini, setidaknya dia bisa menyambung hidup di kota orang.
"Kita harus pandai-pandai mengatur uang, biar pas akhir bulan kita bisa tetap makan. Kalo jadi pekerja rendahan gini, jangan nurutin gengsi, dan ikut foya-foya bareng temen yang kaya. Ikut begituan, malah buat uang cepet habis. Itu namanya besar pasak daripada tiang. Kita bisa mati kelaparan, karena nurutin gengsi doang."
"Yang enaknya?" Hawa beralih ke pertanyaan berikutnya.
"Pas pembagian gaji," Yasmine tersenyum ketika bercerita bagian ini. Menurutnya, dari sekian banyak hal indah, pembagian gaji lebih indah dari apapun. "Mungkin terdengar sederhana, bahkan gak sama sekali bagi Anak yang bercukupan kayak lo. Tapi... Bagi gue, Anak yang gak mampu, nerima gaji dari hasil keringat sendiri itu bahagia banget. Terlebih pas bagian kirim setengah uangnya ke Emak di kampung, serasa lebih berguna sebagai Anak."
"Sederhana tapi berkesan." mengucapkan kalimat ini, senyuman Yasmine semakin berkembang. Tersirat kebahagiaan besar yang Hawa tangkap dari kedua mata Yasmine. "Lo bakalan tau rasanya, setelah ikut kerja terutama hidup susah. Walau gaji kecil, tapi rasa syukur besar."
"Begitu, ya?" Hawa ikut tersenyum, melihat Yasmine yang tersenyum.
Ada rasa haru yang menyelimuti hati Hawa, kala mendengar cerita Yasmine. Melalui cerita Yasmine barusan, Hawa coba menerka-nerka tentang dunia kerja. Memposisikan semisal ia Anak kurang mampu. Pastinya berat dan rumit. Hawa merasa beruntung terlahir di keluarga yang lebih dari cukup.
"Permisi, Kak..."
Kedatangan sosok bocah pengamen, memutuskan obrolan Hawa dan Yasmine. Bocah itu memetik gitar, lalu mulai bernyanyi. Hawa dan Yasmine diam, selama bocah itu bernyanyi. Mendengarkan dengan baik suara emas bocah itu.
"Terima kasih, Kak." sedikit bocah itu menunduk, tanda terima kasih. Tangannya kemudian mengulurkan botol plastik minuman berukuran kecil. Terisi banyak uang receh dan uang kertas ribuan.
Hawa hendak mengeluarkan dompet, bermaksud memberi uang. Namun, Yasmine menahan Hawa dengan telapak tangan ke arah depan.
"Biar gue aja," kata Yasmine, mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. Uang itu lantas Yasmine taruh ke dalam botol minuman bocah tadi.
Bocah itu mengambil uang pemberian Yasmine. Penuh binar matanya menatap selembar uang yang ia pegang. "Waahh, gak salah kasih uang, Kak? Ini uangnya kebesaran." tampak bocah itu ragu, setelah berdecak kagum.
Yasmine menggeleng, seraya tersenyum manis. "Nggak, kok. Ambil, buat beli jajan."
"Makasih, Kak! Semoga Kakak berdua dimurahkan rezekinya, panjang umur, sehat badan, bahagia selalu!" berbagai doa baik, bocah itu panjatkan untuk Yasmine juga Hawa.
Mendengar doa baik bocah itu, Yasmine tersenyum bahagia. Ia dan Hawa sama-sama mengaamiinkan.
Lepas mendoakan Hawa dan Yasmine yang baik-baik, bocah itu pergi dengan perasaan senang. Tak pudar senyuman yang terukir dibibir bocah itu, tatkala berjalan menuju pintu keluar Cafe lantas menghilang. Hawa melihat bocah itu sampai ia benar-benar pergi, hilang dari tangkapan mata.
"Tadi, itu juga contoh kebahagiaan dari kerja dan dapat uang sendiri." celetuk Yasmine mengalihkan perhatian Hawa.
Hawa tersenyum tipis. Arah matanya sendu, menuju kopi pesanannya. "Kayaknya kerja itu seru."
"Bukan hanya seru, tapi bisa dapat pahala kalo kita kerjanya ikhlas dan jujur."
Yasmine menarik kusinya lebih maju ke depan. Topik obrolan mengenai dirinya ia ganti. Sekarang giliran ia yang menodongi Hawa dengan sejuta pertanyaan.
"Oke, balik ke topik awal. Alasan lo nanya pekerjaan ke gue itu apa? Tumben-tumbenan," sepasang mata Yasmine memicing curiga menatap Hawa.
Hawa terkekeh salah tingkah. Tatapan Yasmine membuat ia tak nyaman. "Itu... Gue penasaran aja."
Yasmine masih menatap Hawa curiga. Ia tahu, Hawa tengah berbohong. Terlihat jelas dari gerak gerik Hawa. Walau ia bukan Mahasiswa Psikologi, dirinya tahu sedikit mengenai gerak gerik orang yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mudah saja untuk ditebak.
"Bohong..." desis Yasmine. "Please, deh, Hawa! Sekali aja jujur ke gue! Masa gue terus yang curhat ke elo, mesti jujur ke elo, sementara elo lebih suka mendam masalah!"
"Oke, oke, gue jujur! Kemarin Pak Adam kasih penawaran ke gue, mau gak jadi ASDOS dia!"
Pusing mendengar ocehan Yasmine, Hawa akhirnya jujur. Untuk kali ini saja, ia bercerita dengan Yasmine tentang masalah hidupnya. Barangkali Yasmine bisa memberi solusi.
Mata Yasmine membulat, kaget mendapati informasi ini. "Sumpah? Pak Adam?"
Hawa mengangguk berkali-kali, semakin membuat Yasmine tak menyangka. Bahkan ekspresi wanita itu cengo, tidak terkontrol.
"Terus, lo terima?"
"Belum! Dia kasih gue waktu tiga hari buat berpikir, karena itulah gue pusing!" Hawa menutup wajahnya, lantas mengusap kasar. Pikirannya benar-benar kacau. Butuh ketenangan dari manapun itu.
"Terima aja, udah." ucap Yasmine tanpa beban. Tentu wanita itu mudah berkata demikian, karena belum pernah berada di posisi Hawa.