Jalan dua bulan Hawa sudah menggeluti profesi barunya, yaitu Asisten Dosen. Atau sebut saja, Dosen Muda. Setelah menjalani pekerjaannya itu, Hawa pikir tidak buruk juga. Ia sangat menikmati pekerjaan tersebut. Senang rasanya berbagi ilmu.
"Terdapat macam-macam hukum nikah dalam Islam, yaitu wajib bila seseorang telah mampu, baik secara fisik maupun finansial. Bisa menjadi sunnah bila seseorang menginginkan sekali punya anak dan tak mampu mengendalikan diri dari berbuat zina."
Penyampaian dari Adam menggema di seluruh kelas. Semua orang menyimak dengan seksama, seraya tangan mereka bergerak mencatat. Tak terkecuali Hawa. Walau materi yang saat ini tengah Adam sampaikan kurang ia sukai, wanita itu tetap mencatat point-point penting.
"Selanjutnya, hukum nikah makruh. Hal itu terjadi bila seseorang akan menikah tetapi tidak berniat memiliki anak, juga ia mampu menahan diri dari berbuat zina. Seseorang yang hendak menikah tetapi mampu menahan nafsunya dari berbuat zina, maka hukum nikahnya adalah mubah."
Alasan Hawa tidak menyukai materi yang menyangkut tentang pernikahan, karena ia merasa tersindir. Lewat hadist-hadist shahih yang tersampaikan, Hawa seperti di olok-olok secara tak langsung sebab belum menikah.
Dan yang paling Hawa tak sukai adalah, setiap materi pernikahan tersampaikan pasti seluruh temannya melirik dia. Bahkan ada yang terang-terangan melihat. Parahnya lagi langsung berceletuk menyindir.
"Yang terakhir, hukumnya menjadi haram apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya, karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin. Ditakutkan ia mencari nafkah lewat jalur yang tak Allah Ridhoi." Adam memperhatikan semua Mahasiswa. Mereka menyimak dengan baik.
Adam menambahkan, "Dengan menikah, seseorang dapat membina rumah tangga, menjalin silaturahmi dengan keluarga, serta memiliki keturunan. Semua hal itu, diimpikan oleh banyak orang."
"Ada yang nggak mengimpikan pernikahan, Pak!" celetuk seorang pria, mengangkat telapak tangan.
"Siapa?" tanya Adam penasaran.
Pria itu melirik ke arah Hawa. Adam mengetahui pria itu sedang melirik Hawa, ia jadi ikut melirik Hawa pula. Sementara Hawa membalas dengan lirikkan tajam. Tahu benar Hawa, maksud lirikkan pria itu dan makna ucapannya tadi pada Adam.
"Hawa, Pak!" jawab pria itu pada akhirnya.
Pecah tawa semua Mahasiswa di kelas. Mengerat genggaman jemari Hawa yang memegang pena. Tawa semua orang menjengkelkan untuk didengar.
"Iya, tuh, Pak. Udah banyak cowok yang ditolak Hawa mentah-mentah. Termasuk Ifkar sendiri." sambung Mahasiswa lain, menyindir pria yang mengangkat tangan tadi.
Yang di sindir memasang tampang membunuh. Melalui itu, ia memperingatkan Mahasiswa yang menyindirnya.
"Mungkin satu angkatan semuanya udah Hawa tolak, rata gak tersisa!" satu lagi temannya mengolok. Semuanya yang mengolok adalah pria yang pernah cintanya Hawa tolak.
Semakin menjadi tawa membahana di kelas. Adam menatap Hawa prihatin. Wanita itu tampak tak nyaman. Wajar Hawa bersikap demikian.
"Sudah, sudah! Tenang!" sahut Adam tegas, semua orang terdiam. Seketika kelas kembali tenang. "Kita balik ke materi awal,"
Diam-diam Hawa menatap ke depan. Ke arah Adam tepatnya. Tak Hawa sangka, pria itu juga kedapatan sedang menatapnya. Beberapa detik mereka saling pandang, lantas bersamaan pula memutuskan pandangan.
"Hukum menikah bagi wanita adalah wajib menurut Ibnu Arafah. Hal itu apabila ia tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri, sedangkan jalan satu-satunya dengan menikah."
Spontan Hawa mendongak, kembali menatap Adam berkat materi yang pria itu lanjutkan. Tak berpikiran buruk. Hanya saja, Hawa merasa ucapan Adam itu tertuju untuknya. Dugaan Hawa diperkuat oleh tatapan Adam yang mengarah kepadanya.
"Ada yang mau ditanyakan?" tatapan Adam masih belum terputus. Ia masih menatap Hawa, seolah pertanyaan ini tertuju hanya untuk Hawa seorang.
Hawa meneguk ludah. Dirinya terasa terpanggil untuk bertanya. Apa jangan-jangan tatapan mata Adam memiliki ilmu hiptonis? Hingga membuat ia sulit mengontrol diri sendiri?
"Saya, Pak!"
Bibir Adam tertarik, tersenyum sedikit sebab yang bertanya adalah Hawa. Sesuai dengan harapan. "Ya, kamu. Apa yang ingin ditanyakan? InsyaAllah akan saya jawab sempampunya."
"Apakah orang yang telah melakukan perzinahan, lalu wanita yang di zinahkannya itu andai hamil, apa pria itu harus menikah dengan wanita yang telah ia zinahi?"
Deg!
Tersentak Adam oleh lontaran pertanyaan Hawa. Ia dibuat terdiam sulit menanggapi. Sedangkan Hawa, hatinya puas melihat wajah tegang Adam.
"Bagus pertanyaan lo, Wa! Gue juga penasaran! Katanya gak boleh dinikahi sama Ayah Biologisnya." seorang Mahasiswi bersemangat. Menyetujui dan mendukung pertanyaan Hawa itu. Kobaran yang tercipta dari ucapan Mahasiswi itu membuat Adam tambah membeku. Ia merasa terpojok.
Di tambah lagi, ada Mahasiswi yang ikut menimpali. "Hooh! Apalagi sekarang marak banget berita hamil di Indonesia, kan? Dan kebanyakan yang melakukan itu, rata-rata tahu agama loh."
"Tentu saja mereka boleh menikah. Tidak ada yang melarang hal semacam itu."
Seisi ruangan langsung senyap. Pandangan semua orang serentak menuju ke Adam yang barusan bersuara. Hawa menelan saliva, tatkala tatapan Adam malah menatapnya. Bukan kepada seluruh Mahasiswa. Tatapan mata Adam begitu menusuk.
"Namanya zina, kan? Kasihan anaknya, kalo nggak punya Ayah nanti."
Ketukan sepatu terdengar mendekat. Rupanya itu berasal dari sepatu Adam yang mendekati bangku Hawa. Tubuh menjulang pria itu, tidak Hawa tatap secara langsung. Melainkan lewat bayangan yang terpantul di lantai.
Jemari Adam mengetuk-ngetuk meja Hawa. Timbul bunyi ketukan yang mendominasi kesunyian kelas.
"Kalau menurut kamu sendiri. Apakah sepasang manusia yang berzinah, lalu si wanita hami, haruskan menikah dengan pria yang menzinahinya?"
Bariton Adam sangat berat ketika bertanya. Hati Hawa punya insting, jika Adam marah atas pertanyaannya tadi yang jelas menyindir. Akan tetapi pria itu tahan.
"B... Bisa, Pak." jawab Hawa gugup dengan kepala menunduk, menghadap lembaran catatan miliknya.
"Kira-kira sepasang suami istri itu dosanya bisa termaafkan?" kembali pertanyaan lain Adam ajukan.
"Tentu saja bisa, kalau mereka bener-bener bertaubat. Tidak mengulangi kesalahan mereka di masa lalu."
"Berarti saya juga bisa berubah, kalau tidak mengulangi kesalahan yang sama? Tetapi, saya mau menikahnya dengan wanita lain. Wanita yang saya rasa, bisa membersamai saya agar lebih baik dari sebelumnya."
Terperanjat Hawa, karena bisikkan sebuah suara berat. Pemilik suara ini adalah Adam. Barusan pria itu mengecilkan suara, sengaja pula berbisik agar orang lain tak mendengar.
"Tapi... Kira-kira siapa wanita baik itu?"
Ragu-ragu Hawa melirik Adam. "Gak... Gak tau, Pak." bergetar Hawa menjawab. Bisikkan Adam yang ia dengar, membuat bulu kuduk berdiri. Terlebih posisi pria itu berdiri di sebelahnya. Jarak mereka dekat.
"Mungkinkah, kamu?"
Deg!
°°°
Lautan manusia keluar dari pintu sebuah ruangan. Di tengah-tengah kerumunan itu, ada Hawa yang berdesak-desakkan ingin keluar juga. Berhasil keluar dari sana, Hawa pun dapat bernapas legah.
Namun, dadanya kembali sesak ketika menemui Adam. Hawa mematung di tempat mendapati tubuh pria itu berdiri di depan. Menghalangi jalannya.
Spontan Hawa menunduk, "Permisi, Pak. Saya mau lewat."
"Bisa kita bicara sebentar?"
Alis Hawa mengerut bingung. Berputar banyak pertanyaan di kepalanya, mengenai maksud Adam yang mau mengajaknya berbicara. Terlintas di otak Hawa, kalau Adam akan menyindangnya atas pertanyaan lancang ia di kelas tadi.
Tak ingin berpikiran buruk, Hawa putuskaj untuk bertanya dulu. "Bicara apa, ya, Pak?"