Matahari sore menyusup melalui celah gorden usang menari-nari di lantai kayu yang mulai lapuk. Di tengah ruang tamu sederhanan itu Erisa dengan jarinya yang ramping menelusuri alur-alur berdebu pada buku dongeng lama. Dunianya senyap sejak lahir bisikan angin dan tawa riang adalah bahasa asing baginya. Namun, keheningan itu tak membuatnya berhenti masakan.
Martyn kakaknya Erisa dengan rambut acak-acakan dan senyum polosnya yang kekal sedang duduk di hadapannya. Jemarinya yang besar dan canggung mencoba menirukan gerakan Erisa, lalu mengusap halaman buku dengan tatapan kosong, namun penuh kekaguman.
Erisa membentuk kata tanpa suara gerak bibirnya lambat dan jelas, sambil menunjuk gambar makhluk bersisik itu dengan mata yang berbinar, “Ini nggak.”
Martyn tertawa kecil suara seraknya memecah keheningan yang tebal di antara mereka, sebuah tawa yang bagi Erisa adalah simfoni terindah.
Dari balik pintu dapur, Marck ayah mereka yang bahunya kini semakin membungkuk seiring usia dan beban hidup yang menguasai. Kerutan pada wajahnya yang terletak pada dahi adalah peta perjuangan panjang yang telah ia lalui. Setelah kepergian istrinya, ia menjadi tiang tunggal yang menopang dua jiwa rapuh ini.
Bagi Marck setiap hari adalah medan perang sunyi. Ia memerangi rasa takut akan masa depan, kecemasan akan hari esok yang tak pasti. Ia melihat Erisa seorang gadis yang tegar mencoba menggenggam dunia dengan jemari sensitif dan mata yang tajam. Ia melihat Martyn putranya yang abadi dalam kepolosan membutuhkan perlindungan tanpa henti. Beban itu berat menusuk hingga ke ulu hati, namun cinta adalah bahan bakar yang tak pernah habis.
Marck melangkah mendekat perlahan, seolah-olah takut mengganggu ketenangan Erisa dan Martyn. Dengan suara serak dan lelahnya Marck berkata, “Sudah makan, nak?”
Erisa menoleh dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Ia menggeleng, lalu menunjuk ke arah Martyn agar kakaknya di dahulukan.
Marck mengusap lembut kepala putranya, lalu berkata, “Martyn sudah.”
Martyn hanya merespon dengan guncangan tubuh kecil, tanda kebahagiaan yang sederhana, “Sekarang giliranmu, nak. Ayah akan membuatkan bubur kesukaanmu.”
Erisa mengangguk, lalu bangkit berdiri. Ia mendekati Marck memeluk pinggangnya sebuah pelukan singkat, namun sarat makna. Dalam keheningan pelukan itu berbicara tentang rasa terima kasih, kebersamaan yang tak lekang oleh waktu dan kesulitan.
Rumah kecil mereka mungkin tak memiliki kemewahan, namun ia di penuhi oleh benang-benang cinta yang kasat mata. Sebuah anyaman rapuh yang setiap harinya di uji oleh badai kehidupan. Erisa adalah jangkar, Martyn adalah Kompas, dan Marck adalah nahkoda yang gigih. Mereka adalah tiga kepingan puzzle yang berbeda, namun menyatu dalam satu takdir berbagi kesunyian, harapan dan cinta.
****
Malam merayap bintang-bintang mulai berpendar di langit Jakarta yang berpolusi. Erisa membantu Marck membereskan meja makan. Martyn sudah tertidur lelap di sofa tua mendengkur halus.
Erisa menggerakkan bibirnya dengan samar-samar, “Ayah lelah?”