Di sudut ruang keluarga yang temaram, Marck duduk di sofa tua sambil memeluk sebuah pigura foto usang. Dalam foto itu, senyum Erika mendiang istrinya merekah hangat. Air mata membasahi pipinya yang sudah mulai keriput, bercampur dengan senyum getir saat ia mulai bercerita, seolah-olah Erika benar-benar ada di sampingnya.
Suara Marck bergetar memecah kesunyian malam, “Erika sayangku. Lihatlah kita sekarang. Waktu benar-benar berlalu begitu cepat, ya?”
Ia mengusap lembut foto Erika, seolah-olah menyentuh pipi istrinya, “Martyn sudah 25 tahun sekarang. Tubuhnya semakin tinggi, walau pikirannya masih sering tersesat. Dia suka sekali duduk di teras memandangi bintang, seperti yang sering kau lakukan dulu. Aku sering melihatnya tersenyum sendiri, entah apa yang ada di dalam benaknya. Tapi aku tahu, dia merindukanmu, Erika. Aku bisa merasakannya.”
Marck menarik napas panjang menahan isak yang ingin lolos, “Dan Erisa putri kecil kita yang cantik. Dia sudah 23 tahun sekarang. Matanya masih seindah matamu, dan senyumnya. Ah, senyumnya selalu mengingatkanku padamu. Dia tumbuh menjadi gadis yang luar biasa kuat, Erika. Meskipun dunia sering kali terlalu bising untuknya, dia selalu menemukan caranya sendiri untuk bersinar. Dia selalu membantuku mengurus Martyn dengan sabar dan penuh cinta. Kau pasti bangga padanya, seperti aku.”
Air mata Marck semakin deras. Ia menundukkan kepala mencium foto itu berkali-kali, “Dan Keyrine, Erika? Gadis kecil kita yang paling bungsu, selalu ceria itu. Dia sudah menikah, Erika. Menikah muda dan kini tinggal di kota lain bersama suaminya dan seorang bayi mungil yang lucu. Cucu lita, Erika. Kau pasti akan sangat bahagia melihatnya. Dia mewarisi keceriaanmu juga sedikit keras kepalamu.”
Marck suaranya tercekat, “Rumah ini terasa begitu sepi tanpamu, Erika. Setiap sudutnya di penuhi kenangan kita. Aroma masakanmu, tawa renyahmu, bahkan teguran lembutmu saat aku lupa menaruh kunci. Semua itu masih begitu jelas di ingatanku, seolah baru kemarin.”
Ia memejamkan mata membiarkan kenangan itu memenuhi relung hatinya, “Aku tahu, kau mungkin khawatir melihatku mengurus mereka sendiri. Martyn, Erisa mereka memang membutuhkan perhatian lebih. Tapi aku bersumpah, Erika, aku akan menjaga mereka. Aku akan memberikan seluruh hidupku untuk memastikan mereka bahagia, seperti yang selalu kau inginkan.”
Marck membuka matanya menatap foto Erika dengan tatapan penuh kerinduan, “Aku hanya berharap bisa memberimu pelukan terakhir, Erika. Sekali lagi. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu.”
Tangisnya pecah memenuhi ruangan itu dengan pilu. Ia memeluk foto Erika erat-erat, seolah-olah mencari sisa kehangatan dari masa lalu yang tak akan pernah kembali. Di luar malam semakin larik membawa serta hembusan angin yang seolah ikut meratapi kehilangan yang mendalam. Martyn dan Erisa dari kamar mereka mungkin bisa mendengar isak pilu ayahnya, dan tahu bahwa malam itu, ayahnya kembali mengenang cinta pertama dan terakhirnya.
****
Pagi menyapa dengan lembut. Sinar matahari tipis menyelinap masuk lewat celah gorden membangunkan rumah yang masih di selimuti kesunyian. Marck terbangun di sofa dengan foto Erika masih dalam dekapannya. Matanya sembab, tapi ada ketenangan yang samar di sana. Kenangan semalam, meseki pedih selalu memberinya kekuatan.
Tak lama terdengar langkah kaki pelan dari arah dapur. Erisa dengan rambut sebahu yang diikat asal dan kemeja longgar, ia sibuk menyiapkan sarapan. Gerakannya cekatan mengupas buah, memotong roti semua di lakukan dengan fokus. Keterbatasan pendengarannya tak menghalangi Indera lainnya untuk berfungsi sempurna. Ia bisa merasakan getaran langkah Marck, mencium aroma kopi yang baru di seduh, dan membaca ekspresi ayahnya yang begitu teliti.