Setiap hari adalah rangkaian tantangan dan adaptasi bagi keluarga Marck. Bagi orang lain, hal-hal sederhana mungkin tak berarti, namun bagi mereka itu adalah bagian dari perjuangan yang tak terlihat.
Bagi Martyn, dunia adalah tempat yang penuh keajaiban, namun juga kebingungan. Keterbelakangan mentalnya membuatnya sulit memahami konsep abstrak, seperti bahaya di jalan raya atau pentingnya jadwal. Marck dan Erisa harus selalu ekstra waspada Martyn bisa saja tiba-tiba tertarik pada kilauan benda di kejauhan dan tanpa sadar melangkah ke tengah jalan.
Erisa berteriak panik saat Martyn hampir menyebrang jalan tanpa melihat kana-kiri, matanya hanya terpaku pada seekor kucing di seberang. Marck harus sigap menarik tangan putranya, jantungnya berdebar kencang, “Martyn, jangan kesana!”
Mereka sering menerima tatapan aneh atau bisikan simpati dari tetangga. Ada yang kasihan, ada yang tidak mengerti. Marck seringkali mendengar komentar seperti, “Kasihan ya, Pak Marck harus mengurus dua anak seperti itu.”
Marck hanya tersenyum getir. Mereka tidak tahu di balik segala kesulitan ada kebahagiaan murni yang hanya di berikan oleh Martyn. Ia tak pernah berbohong, tak pernah menyimpan dendam, dan selalu memeluk Marck dengan tulus.
Erisa menghadapi tantangannya sendiri. Keterbatasan pendengaran membuatnya merasa terisolasi dalam beberapa situasi. Meskipun ia mahir membaca bibir dan memahami ekspresi, ada kalanya ia merindukan percakapan biasa, tawa lepas yang tak perlu ia terjemahkan melalui gerakan bibir.
Di keramaian, ia sering merasa kewalahan. Suara-suara yang bercampur bisikan yang tak jelas semua itu membuatnya pusing dan cemas. Marck selalu berusaha menemaninya menjadi telinga bagi putrinya di luar rumah.
Erisa sering bertanya dengan menatap Marck penuh harap, “Ayah, apa kata orang itu?”
Yang palin menyakitkan bagi Marck adalah melihat Erisa sesekali menarik diri, larut dalam dunianya sendiri. Terkadang, ia akan melihat Erisa menulis di buku hariannya, atau hanya duduk diam menatap keluar jendela dengan tatapan jauh. Marck tahu putrinya menrindukan sosok ibu yang bisa menjadi teman bicara, seseorang yang bisa memahami gejolak batinnya tanpa perlu banyak kata.
Sebagai ayah tunggal dengan dua anak yang berkebutuhan khusus, Marck sering merasa lelah, baik fisik maupun mental. Setiap keputusan, setiap tindakan harus di pikirkan matang-matang. Ia harus menjadi guru, perawat, penghibur dan sekaligus pelindung.
Ada malam-malam dimana ia terbangun dengan keringat dingin, setelah mimpi buruk tentang Martyn yang tersesat atau Erisa yang disakiti. Rasa takut akan masa depan seringkali menghantuinya, “Bagaimana jika aku tidak ada lagi? Siapa yang akan menjaga kedua permata hatinya itu?”
Namun, setiap pagi saat ia melihat senyum polos Martyn dan tatapan penuh pengertian Erisa. Marck menemukan kembali kekuatannya. Ia akan menyiapkan sarapan membantu Martyn mandi dan memastikan Erisa memiliki segala yang ia butuhkan. Setiap tawa Martyn, setiap senyum Erisa adalah penguat baginya. Maereka adalah warisan terindah dari Erika dan ia berjanji akan menjaganya dengan segenap jiwa.
****
Angin sore berbisik lirih menembus jendela kamar yang mulai usang. Di dalam bau obat dan duka bercampur menjadi satu. Marck, seorang ayah dengan pundak yang selalu tampak tegar, kini terbaring lemah. Napasnya mulai memburu, irama yang tak lagi seiring dengan detak jam di dinding. Di sisinya, Erisa dengan mata beningnya yang tak pernah luput dari sorot cemas memegang erat jemari ayahnya. Ia tak bisa mendengar bisikan angin pun tak bisa mendengar setiap tarikan napas Marck yang semakin berat, namun getaran di tangan ayahnya cukup berbicara banyak.
Martyn dengan tatapan polosnya yang seringkali menyelami dunia sendiri duduk di sudut ruangan. Sesekali ia menunjuk-nunjuk ke arah Marck, lalu tersenyum tipis seolah Marck sedang tertidur lelap bukan dalam pelukan maut yang perlahan mendekat. Erisa menoleh pada kakaknya tersenyum getir terukir di bibirnya. Martyn tak sepenuhnya mengerti, dan entah mengapa itu justru membuat hati Erisa semakin perih.
Erisa membisikkan satu kata, meskipun ia tahu Marck takkan mendengarnya. Ia menggerakkan jemarinya di telapak tangan ayahnya dengan membentuk isyarat, “Ayah, bertahanlah.”
Marck membuka mata secara perlahan. Pandangannya sayu, namun tersirat sebuah kekuatan yang tak lekang oleh sakit. Ia mencoba tersenyum yang selalu Erisa kenal sebagai penenang di setiap badai. Dengan susah payah, Marck mengangkat tangannya, lalu menyentuh pipi Erisa.
Suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar, “Erisa, anakkku. Jaga Martyn.”