Pagi itu, Keyrine telah menyiapkan segalanya, bahkan membelikan sebuah alat pendengar untuk Erisa. Ia memilihkan gaun terbaik untuk Erisa yang berwarna biru lembut yang menutupi lehernya agar sang kakak terlihat anggun.
Hati Keyrine berdebar, bukan lagi karena rasa bersalah, melainkan harapan. Harapan akan awal yang baru, harapan akan kebahagiaan yang selama ini ia impikan untuk Erisa. Sementara itu, Erisa hanya diam. Pandangan matanya lurus, seolah-olah ia tidak benar-benar hadir di sana. Erisa membiarkan Keyrine mendandaninya, merias wajahnya dengan makeup tipis agar terlihat natural, ia tidak melawan sama sekali. Di balik ketenangannya, ada jurang yang menganga sebuah kekosongan yang di isi oleh kesedihan yang tak terucapkan.
Saat Ramelo dan Bu Ida tiba, suasana menjadi kaku. Bu Ida berusaha mencairkan suasana dengan senyuman hangat, sementara Ramelo hanya tersenyum tipis. Ia pemuda yang sopan, tampan dengan badan yang tegap, seperti yang sudah di jelaskan oleh Bu Ida pada Keyrine. Namun, matanya tidak memancarkan kehangatan. Ia terlihat canggung, seolah terpaksa berada dalam situasi yang tidak di inginkannya.
Keyrine, “Erisa, ini Ramelo.”
Erisa yang sedang menunduk, ia mengangkat wajahnya, lau menjawabnya hanya menganggukan kepala. Ia tidak mengulurkan tangan hanya menatap Ramelo sekilas, lalu kembali menunduk dengan memainkan ujung gaun. Ramelo terdiam. Ia menatap Erisa dengan melihat jemarinya yang lincah, tapi pandangannya tidak sampai pada mata Erisa. Ramelo hanya melihat sebagai gadis tunarungu, bukan sebagai kakaknya Keyrine.
Keyrine berusaha mati-matian untuk menjadi jembatan. Ia menceritakan kebaikan Erisa, kemampuannya merangkai manik-manik, membuat kue, dan kelembutan hatinya. Ia berharap Ramelo akan melihat Erisa yang utuh dan sempurna dengan caranya sendiri. Namun, Ramelo hanya sesekali mengangguk lebih sering melihat ke arah lain, seperti mencari celah ingin melarikan diri dari situasi yang rumit.
Keyrine, “Dia pandai merangkai manik-manik, selain itu bisa membuat kue, lho.”
Keyrine menunjukkan hasil manik-manik buatan Erisa, “Lihat ini.”
Ramelo mengambil kalung itu, lalu membolak-bailkannya, “Bagus. Tapi, bagaimana caranya kami berkomunikasi?”
Pertanyaan itu menusuk hati Keyrine. Itu adalah pertanyaan yang selama ini ia takutkan, Keyrine menarik napas berusaha menjawab dengan tenang, “Bisa dengan isyarat, menulis, dan Erisa saat ini menggunakan alat pendengar.”
Ramelo bergumam, “Susah, ya.”
Bu Ida yang mendengar gumaman Ramelo, ia menyenggol lengan anaknya agar lebih sopan, “Maaf ya, nak Keyrine. Ramelo ini memang kurang luwes.”
Keyrine tersenyum hambar. Ia tahu pertemuan ini tidak akan pernah berhasil. Keraguan di mata Ramelo, ketidaknyamanan yang begitu kentara membuat harapan Keyrine melemah.