Cinta Gadis Dalam Senyap Lara

Moycha Zia
Chapter #17

Chapter #17 Komunikasi yang Terpaksa

Suasana ruang keluarga yang tadinya ramai, kini berubah menjadi hening. Sepasang mata Ramelo dan Erisa saling bertatapan, mencari arti dalam kebisuan yang begitu terasa mencekam. Di sekeliling mereka, keluarga besar Ramelo duduk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Senyum-senyum kaku, bisik-bisik lirih, dan tatapan penuh penilaian seolah menjadi melodi yang tak terdengar, namun amat menyakiti hati Erisa.

Ramelo mencoba memecah keheningan. "Erisa, ini Tante Rita," ujarnya sambil menggenggam tangan Erisa dengan erat. Erisa mengangguk dan tersenyum tulus.

"Selamat siang, Tante," ucap Erisa pelan, suaranya sedikit bergetar.

Tante Rita membalas dengan senyum tipis. "Ya, selamat siang. Ini calon cucu menantu Bapak yang tunarungu, ya?" tanyanya, membuat senyum Erisa memudar.

Ramelo segera menyela, "Tante, Erisa bisa dengar. Dia pakai alat bantu dengar."

Tante Rita terkekeh pelan, "Ya, tapi tetap saja, kan? Jadi kalau bicara harus agak keras, ya?"

Erisa menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya terasa dicabik. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, ia sudah berusaha tampak normal, menekan dirinya untuk tidak menggunakan bahasa isyarat, tapi ternyata usahanya sia-sia.

Ramelo menggenggam tangan Erisa lebih erat. "Tante, tolong jangan begitu," ucapnya lirih, "Erisa adalah orang yang luar biasa."

Erisa mendongakkan kepala sambil menatap Ramelo. Di matanya, ia melihat cinta, juga penderitaan. Erisa melepaskan genggaman Ramelo, lalu berdiri.

"Maaf, Tante, saya permisi sebentar," ucapnya, lalu melangkah cepat ke luar rumah.

Ramelo segera mengejarnya. Ia menemukan Erisa di taman belakang, menangis tersedu-sedu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang hebat.

"Erisa, sayang, maafkan aku," ucap Ramelo, memeluk Erisa dari belakang, "Aku tidak tahu mereka akan seperti ini."

Erisa melepaskan pelukan Ramelo, lalu berbalik menghadapnya. Matanya sembab dan merah, air mata mengalir deras di pipinya, "Kenapa, Ram? Kenapa mereka seperti itu? Aku sudah berusaha terlihat seperti normal, aku sudah berusaha agar mereka tidak melihat kekuranganku."

"Erisa, kamu tidak kurang. Kamu tidak kurang sama sekali," ucap Ramelo, menangkup wajah Erisa, "Kamu sempurna, sayang. Mereka yang tidak bisa melihat keindahanmu."

"Tidak, Ram. Aku lelah," bisik Erisa, suaranya parau, "Aku lelah berpura-pura. Aku lelah mencoba. Aku lelah."

Erisa memalingkan wajahnya, air mata kembali mengalir, "Aku tahu, Ram. Aku tahu, sejak awal merasakan sudah ragu. Aku tahu mereka akan memandangku seperti ini. Aku tahu dan siap dengan hal itu. Tapi, aku tidak menyangka akan sesakit ini."

"Maafkan aku, Erisa. Maafkan aku karena aku sudah memaksamu datang," ucap Ramelo, suaranya bergetar menahan tangis, "Aku mencintaimu, Erisa. Aku tidak peduli dengan apa kata mereka."

"Lalu apa? Apa yang akan terjadi setelah ini, Ram?" tanya Erisa, menatap Ramelo dengan tatapan penuh keputusasaan, "Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku tidak bisa terus-menerus menghadapi mereka dan kamu harus memilih"

Ramelo menunduk, air matanya menetes. Ia tahu, ia harus memilih. Erisa atau keluarganya. Pilihan yang begitu sulit, pilihan yang begitu menyakitkan. Ia mencintai Erisa, tapi ia juga tidak bisa meninggalkan keluarganya.

Erisa mengusap air matanya. Ia mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang ada di pikiran Ramelo, "Aku tahu, Ram. Aku mengerti."

Erisa melangkah mundur, perlahan menjauh dari Ramelo, "Terima kasih untuk semuanya, Ram. Terima kasih karena kamu pernah mencintaiku."

"Erisa, tunggu!" teriak Ramelo, mencoba meraih tangannya.

Namun Erisa terus melangkah mundur. Ia berbalik, lalu berlari, meninggalkan Ramelo yang berdiri terpaku di tempatnya, menatap kepergian cintanya, hatinya hancur berkeping-keping.

Ia berdiri mematung di taman belakang, menyaksikan Erisa menghilang di balik gerbang. Hujan tiba-tiba turun, seakan turut merasakan kepedihan hatinya. Air mata dan air hujan bercampur, membasahi wajahnya. Ia merasa gagal. Gagal melindungi wanita yang dicintainya, gagal membuat keluarganya mengerti, dan gagal mempertahankan hubungannya.

Malam itu, Ramelo tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Erisa. Terbayang jelas di benaknya tangisan Erisa, mata sembabnya, dan ucapan perpisahan yang menusuk hatinya. Ia tahu, ia tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja. Ia harus berjuang.

Esok paginya, Ramelo memutuskan untuk berbicara dengan keluarganya. Di meja makan, suasana terasa tegang. Tante Rita, Om Budi, dan anggota keluarga lainnya menatap Ramelo dengan tatapan heran.

"Ada apa, Ram? Wajahmu kusut sekali," tanya Tante Rita, berusaha mencairkan suasana.

Ramelo meletakkan sendoknya. Ia menatap satu per satu anggota keluarganya. "Aku tidak akan bisa makan dengan tenang, Tante. Aku tidak bisa hidup tenang, kalau kalian terus memandang Erisa seperti itu," ucapnya tegas.

Keluarganya terdiam. Tante Rita berdeham, "Ram, kami hanya khawatir. Kamu tahu sendiri, kan? Menikah itu bukan hanya soal cinta. Ini juga tentang keturunan, tentang keluarga besar. Apakah kamu yakin bisa bahagia dengan wanita yang memiliki kekurangan?"

Mendengar itu, Ramelo bangkit dari kursinya. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya, "Apa yang Tante bilang? Kekurangan? Erisa tidak punya kekurangan apa-apa! Dia adalah wanita paling kuat, paling hebat, dan paling sabar yang pernah aku kenal! Dia berjuang setiap hari untuk bisa mendengar, untuk bisa berkomunikasi, dan kalian menghancurkannya hanya dalam satu sore! Apakah itu yang kalian sebut keluarga? Keluarga yang saling mendukung dan menerima apa adanya?"

Suasana menjadi semakin tegang. Kakek Ramelo yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara, "Ramelo, jaga bicaramu. Mereka adalah keluargamu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."

"Yang terbaik untukku adalah Erisa, Kek! Bukan wanita lain, bukan wanita pilihan kalian! Apa kalian pikir kebahagiaanku bisa diukur dari seberapa sempurna pasanganku di mata orang lain? Kebahagiaanku adalah ketika aku bersama Erisa! Ketika aku melihat senyumnya, ketika aku mendengar tawanya," ucap Ramelo, suaranya bergetar menahan tangis.

Kakek Ramelo menghela napas, "Tapi dia tunarungu, Ramelo. Bagaimana nanti dia akan mengurus anak? Bagaimana dia akan berkomunikasi dengan orang lain? Bagaimana dengan pandangan masyarakat?"

Ramelo menggelengkan kepalanya, "Kek, dia memang tunarungu! Dia bisa memakai alat bantu dengar! Dia bisa mendengar, dia bisa bicara! Dan untuk anak, aku yakin dia akan jadi ibu terbaik di dunia! Kenapa kalian begitu takut dengan pandangan orang lain? Yang terpenting kan kebahagiaan kita, Kek! Kebahagiaan aku dan Erisa!"

Melihat keteguhan hati Ramelo, Tante Rita dan anggota keluarga lainnya mulai merenung. Mereka melihat betapa dalamnya cinta Ramelo kepada Erisa. Mereka melihat air mata yang menetes di pipi Ramelo, air mata yang menunjukkan betapa hancurnya ia saat ini. Mereka sadar, Ramelo tidak akan bahagia jika tidak bersama Erisa.

"Baiklah, Ramelo," ucap kakek Ramelo, pelan, "Kami akan coba menerima Erisa. Tapi kamu harus berjanji, kamu akan membahagiakannya."

Ramelo menatap kakeknya, tidak percaya. Air matanya kembali menetes, kali ini air mata kelegaan. "Terima kasih, kakek. Terima kasih," ucapnya, lalu memeluk kakeknya dengan erat.

Setelah berhasil meyakinkan keluarganya, Ramelo segera mencari Erisa. Ia menghubungi Erisa, tapi tidak ada jawaban. Ia mendatangi rumah Erisa, tapi Erisa tidak ada di sana. Ramelo panik. Ia tidak tahu harus mencari Erisa di mana. Ia merasa menyesal, ia merasa bersalah, ia merasa bodoh. Seharusnya ia tidak membiarkan Erisa pergi.

Ramelo terus mencari Erisa. Ia mendatangi tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. Hingga akhirnya, ia menemukan Erisa di sebuah danau. Erisa duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah danau. Ramelo berjalan mendekatinya, perlahan.

Lihat selengkapnya