Cincin itu berkilauan. Sinar mentari senja yang keemasan menari-nari di atas permukaannya, seolah ikut merasakan getaran kebahagiaan yang melingkupi Ramelo. Di hadapannya, Erisa duduk anggun, matanya memancarkan binar tak terbantahkan.
"Erisa," suara Ramelo bergetar, "Kita sudah bersama selama ini. Aku ingin melanjutkan sisa hidupku bersamamu."
Dengan satu lutut tertekuk, Ramelo membuka kotak beludru itu. Air mata haru membanjiri pipi Erisa. Senyumnya begitu tulus, seolah dunia tak punya ruang lagi untuk kesedihan. "Ya," bisiknya, suaranya pelan dan penuh emosi, "Aku mau.”
Tiga bulan kemudian, riuh rendah persiapan pernikahan memenuhi rumah Erisa. Keyrine, adiknya, mondar-mandir dengan daftar belanjaan di tangan.
"Ka Erisa, sudah dengar kata-kata Michael soal katering? Michael bilang ..." Keyrine berhenti sejenak, melihat Erisa meletakkan alat bantu dengarnya di meja rias. "Kak, pakai alat itu. Nanti Michael marah lho."
Michael, suami Keyrine, tersenyum dan mengusap pundak Keyrine, "Sudah, biar Kak Erisa istirahat dulu. Dia terlalu banyak berpikir soal persiapan ini."
Erisa hanya mengangguk, sorot matanya yang indah tampak lelah, namun tetap memancarkan kebahagiaan.
Di saat yang sama, sebuah pesan masuk di ponsel Ramelo, "Ram, ini aku, Renya."
Jantung Ramelo berdebar. Nama itu, suara itu—hantu dari masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan. Renya, cinta pertamanya yang dulu pergi begitu saja tanpa pamit. Mereka bertemu di sebuah kafe.
"Aku kembali," bisik Renya, "Untukmu. Aku tidak pernah bisa melupakanmu, Ram."
Kebimbangan melanda hati Ramelo. Di satu sisi, ada Renya, cinta masa lalunya yang dulu pergi. Di sisi lain, ada Erisa, perempuan yang dipilihkan ibunya, yang telah memberinya kebahagiaan yang tak terlukiskan. Erisa yang tulus, Erisa yang begitu mencintainya.
"Aku tahu kau telah di jodohkan oleh perempuan yang di pilihkan ibumu," suara Renya memecah keheningan, "Kau bisa menolak, kan? Kita masih bisa bersama."
Ramelo menarik napas dalam-dalam. "Tidak," jawabnya tegas, "Erisa adalah duniaku sekarang. Dia sudah menjadi bagian dari diriku."
Ia menatap Renya, lalu pergi. Langkahnya mantap, tanpa keraguan. Ia tahu jalan mana yang harus ia pilih. Ramelo memang pernah mencintai Renya, tapi cinta itu telah digantikan oleh rasa yang lebih dalam. Cinta yang tulus dan murni.
Di rumah Erisa, Keyrine kembali mengingatkan kakaknya, "Kak, Mami telepon lagi. Pakai alatmu. Dengarkan apa yang Mami bilang, oke?"
Erisa hanya mengangguk, seulas senyum terukir di bibirnya. Dia tidak tahu bahwa Ramelo baru saja bertarung dengan masa lalunya demi dirinya. Dia tidak tahu bahwa Ramelo sudah memilihnya.
Drrrrt! Drrrrt!
Tiba-tiba, ponsel Erisa bergetar. Sebuah pesan dari Ramelo, "Aku cinta kamu, Erisa. Sangat."
Air mata Erisa jatuh. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan yang tak tertahankan. Dia memeluk erat ponselnya, seolah memeluk Ramelo yang berada di seberang sana. Ramelo yang telah memilih untuk bersamanya. Selamanya.
****
Dua minggu sebelum hari H, Ramelo dan Erisa pergi mencoba jas dan gaun pengantin mereka. Erisa, dengan gaun putihnya, terlihat begitu sempurna. Senyumnya mengembang, matanya berbinar melihat pantulan dirinya di cermin.
"Bagaimana, Ram? Bagus, kan?" tanyanya, suaranya pelan. Ia menoleh ke arah Ramelo, menanti tanggapannya.
Ramelo tersenyum, tetapi ada bayangan ragu di matanya, "Cantik, sayang. Sangat cantik."
Erisa mendekat, lalu memeluk Ramelo erat, "Aku tidak sabar untuk menjadi istrimu. Selamanya."
Ramelo membalas pelukan Erisa. Di benaknya, wajah Renya kembali terlintas. Senyum Erisa, pelukannya yang hangat, semuanya seperti usaha untuk menepis bayangan masa lalu yang terus menghantuinya. Ia sudah memilih Erisa, tetapi mengapa rasa bimbang itu masih ada?
Sore itu, Keyrine dan Michael datang berkunjung. Keyrine membawa tas besar berisi pernak-pernik dekorasi. Ia duduk di samping Erisa sedang sibuk mencatat.
"Kak, tadi aku sudah konfirmasi lagi ke vendor bunga. Mereka bilang ..." Keyrine berhenti, melirik Erisa yang sedang memainkan cincin tunangannya di jari manis, "Kak, ayo pakai alat bantumu. Aku dari tadi bicara, loh."
Erisa tersenyum tipis, "Sebentar, Key. Aku hanya ..."
"Sudah, Erisa. Pakai saja," pinta Michael lembut.
Erisa mengangguk, lalu mengambil alat itu dan memasangnya di telinga. Tiba-tiba, suara di sekitarnya menjadi lebih jelas. Suara Keyrine yang sedang berbicara dengan Michael, suara deru mobil dari jalanan, bahkan suara desis AC. Dunia seolah kembali pada frekuensi yang seharusnya.
Keyrine lalu menoleh ke arah Ramelo, "Bang, tadi ibumu telepon. Beliau minta tolong cek lagi daftar tamu. Beliau mau nambah teman-teman arisan."
Ramelo mengangguk kaku, "Iya, nanti aku cek."
****
Malamnya, Ramelo dan Erisa duduk berdua di teras. Bintang-bintang berserakan di langit, menciptakan keindahan yang hening.
"Ram," Erisa memulai, "Kenapa kamu terlihat gelisah belakangan ini? Apa ada yang mengganggumu?"
Ramelo terdiam. Ia ingin menceritakan tentang Renya, tentang kebimbangannya. Tetapi ia takut. Takut akan sorot mata Erisa yang akan terluka.
"Tidak ada," jawabnya, berusaha tersenyum, "Aku hanya gugup. Pernikahan ini membuatku sedikit tegang."
Erisa meraih tangan Ramelo, mengusapnya lembut, “Aku tahu. Tapi kita hadapi ini bersama, ya?”
Erisa meletakkan kepalanya di bahu Ramelo. Ia tidak menyadari, di balik semua kebahagiaan itu, ada Ramelo yang diam-diam sedang berjuang. Berjuang melawan bayang-bayang masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.