Erisa menatap pantulan dirinya di cermin, gaun putih itu terasa berat, namun hatinya jauh lebih berat. Ia tak bisa mendengar alunan musik yang dimainkan, tak bisa mendengar bisikan-bisikan Keyrine, orang yang telah menjodohkannya dengan seorang pria bernama Ramelo. Yang ia rasakan hanyalah getaran dari langkah-langkah orang yang berlalu lalang. Getaran itu terasa dingin, seperti nasibnya yang tak bisa ia dengar.
"Erisa, ini janji suci. Jangan sampai kau nodai," kata Keyrine, bibirnya membentuk kata-kata yang begitu jelas. Erisa mengangguk. Ia tahu, janji itu adalah sebuah ikatan yang tak bisa ia putus. Ia hanya bisa pasrah.
Ramelo muncul, dia terlihat gagah dengan setelan jas hitamnya. Ada senyum tipis di wajahnya, namun Erisa bisa melihat ada keraguan di sana. Ramelo mengulurkan tangan, dan Erisa menyambutnya.
"Aku janji, Erisa. Aku akan menjagamu," kata Ramelo, suaranya terdengar lembut, tapi Erisa tidak bisa mendengarnya. Ia hanya bisa melihat bibir Ramelo yang bergerak. Erisa mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa janji itu nyata.
****
Beberapa bulan setelah pernikahan, hidup mereka terasa seperti sebuah drama tanpa suara. Erisa mencoba mencintai Ramelo, mencoba membangun rumah tangga yang bahagia. Tapi, ada bayangan yang selalu mengganggu. Bayangan yang tak bisa Erisa lihat, namun bisa ia rasakan.
Drrrt! Drrrt!
Suatu sore, ponsel Ramelo bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Ramelo, aku merindukanmu. Aku tak bisa berhenti memikirkanmu," bunyi pesan itu.
Erisa tak bisa membaca pesan itu, ia hanya melihat mata Ramelo yang membelalak. Pria itu menyembunyikan ponselnya. Tapi Erisa tahu, ada yang tak beres.
Pintu rumah mereka terbuka. Seorang wanita muncul, rambutnya panjang terurai, matanya tajam. Ia menatap Erisa dengan sinis. Renya, nama wanita itu. Erisa tahu, Renya adalah masa lalu Ramelo. Ia pernah melihat foto wanita itu.
"Siapa dia, Ramelo? Kenapa dia ada di sini?" tanya Renya dengan suara yang menusuk.
Ramelo terdiam, tak bisa menjawab.
Renya mendekati Erisa. "Kau! Kau yang telah merebut Ramelo dariku," katanya, "Kau pikir kau pantas untuknya? Kau bahkan tidak bisa mendengarkan suaranya."
Erisa terdiam, air matanya jatuh. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakan Renya, tapi ia tahu, wanita itu sedang merendahkannya. Ia tahu, Renya sedang menusuk hatinya dengan kata-kata yang tajam.
"Kau punya anak, Renya. Kau sudah menikah. Kenapa kau kembali?" tanya Ramelo.
"Aku menceraikan suamiku, Ramelo. Aku hanya ingin bersamamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu," jawab Renya, ia memegang tangan Ramelo, mencoba menariknya.
Ramelo menepis tangannya, "Aku sudah menikah, Renya. Erisa adalah istriku."
Renya tertawa sinis, "Istri? Dia bahkan tidak bisa mendengar suaramu. Dia tidak bisa menemanimu berbincang. Apa yang bisa dia berikan padamu?"
Erisa menatap Renya dengan tatapan merendahkan itu. Air matanya terus mengalir, membasahi pipinya. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan pada Renya bahwa cinta tidak butuh suara. Tapi ia tak bisa, suaranya tertahan di tenggorokan.
Ramelo memeluk Erisa, mencoba melindunginya, "Keluar dari sini, Renya. Jangan pernah kembali."
Renya tersenyum licik, "Aku akan kembali, Ramelo. Aku akan kembali sampai kau sadar, bahwa hanya aku yang pantas untukmu."
Renya pergi, meninggalkan keheningan yang menyiksa. Erisa menangis, ia menangis tanpa suara. Ramelo memeluknya, mencoba menenangkannya.
"Maafkan aku, Erisa. Aku tidak tahu dia akan kembali," kata Ramelo.
Erisa menatap mata Ramelo, ia melihat kesedihan di sana. Ia melihat penyesalan. Ia tahu, janji pernikahan yang mereka ucapkan, tak sekuat yang ia kira. Ia tahu, janji itu hanyalah sebuah kata-kata yang tak berarti, karena ada bayangan masa lalu yang selalu mengganggu.
Ramelo mencium kening Erisa, ia berbisik, "Aku akan menjagamu, Erisa. Aku janji."
Erisa tersenyum, senyum yang penuh dengan luka. Ia tahu, janji itu mungkin tak akan pernah bisa ia dengar, tapi ia berharap, Ramelo akan selalu melindunginya. Ia berharap, cinta mereka akan lebih kuat dari badai masa lalu.
****
Sejak kejadian itu, rumah tangga Ramelo dan Erisa dipenuhi ketegangan. Renya benar-benar menepati janjinya. Ia tidak pernah kembali secara fisik, tapi bayangannya, pesan-pesannya, dan panggilan-panggilan tak terjawabnya terus menghantui. Erisa bisa melihat semua itu. Ia bisa melihat bagaimana wajah Ramelo berubah pucat saat ponselnya bergetar. Ia bisa merasakan bagaimana tangan Ramelo bergetar saat ia membaca pesan dari Renya.
Suatu malam, Erisa sedang menyiapkan makan malam. Ia menoleh dan melihat Ramelo sedang duduk di sofa, tatapannya kosong. Ada keraguan di matanya. Erisa mendekat, menyentuh pundak Ramelo. Pria itu terkejut.
"Ramelo, ada apa?" tanya Erisa, tangannya membentuk kata-kata itu dengan jelas.
Ramelo menggeleng, "Tidak ada apa-apa, Erisa. Aku hanya lelah."
Erisa tidak percaya. Ia mengambil ponsel Ramelo yang tergeletak di meja. Layarnya menyala, menunjukkan pesan terbaru dari Renya.
"Aku merindukanmu. Anakku juga merindukan sosok ayah. Bisakah kita bertemu? Sebentar saja," bunyi pesan itu.