Cinta Gadis Dalam Senyap Lara

Moycha Zia
Chapter #20

Chapter #20 Kehidupan Pasca Pernikahan

Satu tahun berlalu Erisa menatap pantulan dirinya di cermin, senyum tipis terlukis di bibirnya. Rasanya masih seperti mimpi menjadi istri Ramelo. Ia membenahi tatanan rambutnya, lalu memutar badan. Suara pintu terbuka pelan membuatnya menoleh. Ramelo berdiri di ambang pintu dengan senyum yang hangat.

"Erisa, aku sudah siapkan sarapan," ucapnya lembut.

"Terima kasih, Mas," jawab Erisa, hatinya menghangat.

Sejak kehadiran Renya tak lagi mengusik, hidupnya terasa damai. Ia menjalankan peran sebagai istri dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Ramelo, suaminya, selalu memperlakukannya dengan begitu baik, penuh perhatian, dan kelembutan. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, ada sebersit keraguan yang selalu mengganjal.

Di meja makan, mereka menikmati sarapan dalam keheningan yang nyaman. Erisa sesekali mencuri pandang ke arah Ramelo. Pria di depannya itu begitu sempurna, seolah tak ada cela. Kecurigaan itu kembali datang, membelit hatinya. Apakah Ramelo benar-benar mencintainya, atau hanya menjalankan perintah sang ibu? Pernikahan mereka terjadi begitu cepat, seolah dipaksakan.

Setelah sarapan, Ramelo berpamitan untuk bekerja. Ia mencium kening Erisa, sebuah sentuhan yang selalu membuat Erisa merasa aman.

"Aku berangkat ya," bisiknya.

"Hati-hati, Mas," balas Erisa.

Setelah Ramelo pergi, Erisa melanjutkan aktivitasnya. Ia membersihkan rumah, lalu duduk di sofa ruang tengah. Tanpa sadar, tangannya meraih alat bantu dengar yang selalu ia pakai sejak hari pernikahannya. Alat itu menjadi jembatan antara dirinya dengan dunia luar, dan belakangan ini, menjadi sumber rasa sakit yang tak terduga. Ia memasang alat itu, dan seketika dunia terasa lebih bising.

Tiba-tiba, suara percakapan dari arah kamar Ramelo terdengar jelas. Erisa terdiam, menajamkan pendengarannya. Itu suara Ramelo, tapi dengan nada yang berbeda. Lebih dingin dan penuh amarah.

"Aku sudah bilang, aku akan urus ini semua. Sabar sedikit, Bu!"

Suara ibu Ramelo terdengar membalas, "Sampai kapan, Ramelo? Kamu harus cepat urus perceraianmu. Kasihan Renya menunggu!"

 

Deg!

 

Jantung Erisa serasa berhenti berdetak. Ia membekap mulutnya, berusaha menahan isak tangis.

“Aku akan menceraikannya. Aku hanya butuh waktu,” lanjut Ramelo dengan suara yang lebih pelan, “Erisa memang wanita baik, tapi aku tidak mencintainya.”

Seketika, semua kebahagiaan yang Erisa rasakan hancur berkeping-keping. Air matanya tak terbendung. Pantas saja, Ramelo tidak pernah menyebut kata “cinta” kepadanya. Selama ini, ia dibutakan oleh perhatian dan kebaikan palsu suaminya. Alat bantu dengar yang seharusnya membantunya, justru menjadi saksi bisu kehancuran hatinya.

Erisa bangkit, menatap kosong ke luar jendela. Langit tampak begitu cerah, tetapi hatinya mendung. Ia harus berbuat apa. Bagaimana mungkin ia bisa mempertahankan pernikahan yang dibangun di atas kebohongan? Perlahan, ia melepaskan alat bantu dengarnya, mengembalikannya ke dalam kotak kecil. Kini, suara di sekelilingnya kembali sunyi, tetapi suara hati yang hancur justru terdengar lebih nyaring.

****

Erisa duduk terpaku di sofa, alat bantu dengar di tangannya terasa berat. Tangisnya sudah mengering, menyisakan kekosongan yang perih. Semua kebahagiaan yang ia rasakan selama ini, semua perhatian Ramelo, semua tawa dan senyum, ternyata hanyalah topeng. Sebuah peran yang dimainkan dengan sempurna di atas panggung pernikahan palsu. Ia merasa bodoh, begitu mudahnya ia terbuai oleh ilusi.

Ia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali setiap momen bersama Ramelo. Senyum hangatnya saat pagi, sentuhan lembutnya saat mencium keningnya, bahkan cara Ramelo memanggil namanya. Apakah semua itu hanya akting? Ia tak sanggup membayangkan.

Terdengar suara mobil Ramelo memasuki garasi. Erisa tersentak. Ia buru-buru menyembunyikan alat bantu dengar itu, lalu mengusap sisa air mata di pipinya. Ia harus terlihat normal. Ia harus tahu, apa langkah selanjutnya yang akan ia ambil.

Ramelo masuk ke dalam rumah. Senyum hangatnya kembali terkembang saat melihat Erisa, “Kamu kenapa, Sayang? Kok pucat?”

Erisa menggeleng, mencoba memaksakan senyum, “Tidak apa-apa, Mas. Hanya sedikit lelah.”

Ramelo duduk di sampingnya, meraih tangan Erisa, “Kamu terlalu banyak bekerja. Mari, aku pijat.”

Erisa merasakan sentuhan Ramelo. Sentuhan yang dulu terasa begitu tulus, kini terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Ia menahan napas, berusaha tidak melepaskan tangannya.

“Mas,” Suara Erisa bergetar, “Apakah Mas bahagia menikah denganku?”

Ramelo terdiam sejenak. Tangannya berhenti memijat. Ia menatap Erisa dengan tatapan yang sulit diartikan, “Tentu saja, Erisa. Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Erisa cepat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Ramelo, jawaban itu adalah sebuah kebohongan. Jawabannya telah ia dengar beberapa jam yang lalu.

Malam itu, Erisa tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Ramelo yang sudah terlelap. Ia menatap wajah suaminya. Erisa berpikir sambil memandang langit-langit kamarnya, “Apakah pria ini benar-benar tidak memiliki hati? Ataukah ia juga korban dari keadaan?”

Lihat selengkapnya