Cinta Gadis Dalam Senyap Lara

Moycha Zia
Chapter #21

Chapter #21 Peran Pembantu dan Hinaan Menusuk

Erisa berjalan masuk ke dalam rumah. Senyum tipis yang sempat terukir di bibirnya setelah bertemu Daren, langsung memudar. Di ruang tamu, Ibu Ramelo sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapan matanya tajam, menusuk, seolah Erisa baru saja melakukan kejahatan besar.

"Dari mana saja kamu?" suara Ibu Ramelo terdengar dingin, "Masa belanja saja butuh waktu berjam-jam? Malah kelihatannya kamu baru pulang dari kencan, ya?"

Jantung Erisa berdegup kencang. Ia mencoba menenangkan diri, "Tidak, Bu. Saya hanya mampir sebentar ke toko buku."

"Tidak usah bohong!" bentak Ibu Ramelo, "Saya ini tahu. Kamu pikir saya buta? Kamu bergaul dengan laki-laki lain di belakang Ramelo? Dasar wanita murahan!"


Plak!


Hinaan itu bagai tamparan keras. Erisa menunduk, menahan air mata yang sudah menggenang, "Tidak, Bu. Dia hanya teman lama."

"Teman? Teman macam apa yang sampai membuat wajahmu sumringah begitu? Jangan sok suci, Erisa. Kami sudah tahu masa lalu kamu. Latar belakang keluargamu saja tidak jelas. Kamu pikir kamu pantas untuk Ramelo? Kamu hanya sampah yang terbuang!"

Kata-kata itu menusuk, lebih tajam dari pisau. Erisa merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ia mencoba melawan, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.

"Kapan kamu bisa masak yang benar? Kapan kamu bisa rapi seperti Renya? Kapan kamu bisa jadi istri yang baik untuk Ramelo, hah?" Ibu Ramelo terus memaki, tanpa ampun, "Kamu hanya beban di rumah ini! Lebih baik kamu pergi saja, daripada membuat nama baik Ramelo jadi kotor!"

Erisa tidak tahan lagi. Ia berlari ke kamar, mengunci pintu, dan membiarkan air matanya tumpah. Hinaan itu terlalu menyakitkan. Kata-kata "Sampah yang terbuang" terus terngiang di telinganya.

 

****

Erisa meringkuk di sudut kamar, isak tangisnya memecah kesunyian. Hinaan dari Ibu Ramelo bagai pisau yang berulang kali menusuk hatinya. Kata-kata "Wanita murahan" dan "Sampah yang terbuang" berputar-putar di kepalanya. Ia merasa begitu kecil, begitu tidak berharga.

Air mata mengalir tak terkendali, bercampur dengan rasa marah dan muak yang mendalam. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi. Ia sudah sampai pada batasnya. Kata-kata Daren terngiang di benaknya, "Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan yang tulus."

Seketika, sebuah kekuatan baru muncul dari dalam dirinya. Kekuatan yang didorong oleh rasa sakit, oleh penghinaan yang tak henti. Cukup. Ia tidak akan membiarkan dirinya dihina dan direndahkan lagi.

Erisa bangkit. Ia berjalan ke lemari dan mulai mengemasi pakaiannya. Pikirannya jernih, hatinya teguh. Tidak ada lagi keraguan. Ia tahu Ramelo akan berusaha menghentikannya, mungkin dengan janji-janji palsu lainnya. Tapi kali ini, ia tidak akan percaya. Hinaannya telah menjadi titik balik.

Terdengar suara Ramelo dari luar kamar, "Erisa, buka pintunya! Kita harus bicara!"

Erisa mengabaikannya. Ia terus melipat pakaian, memasukkannya ke dalam tas. Ramelo semakin panik, "Erisa, aku akan jelaskan semuanya! Jangan begini!"

Lihat selengkapnya