Cinta Halal Arina

Amanda Chrysilla
Chapter #1

Satu: Ketidaktahuan

Sebenarnya, aku selalu tahu apa yang kulakukan ini salah. Bukankah kita semua mendapatkan pengajaran yang sama di sekolah-sekolah? Kita dilarang berpacaran atau berdekat-dekatan dengan lawan jenis sebelum menikah.

Memang, aku tidak pernah berpacaran dengan laki-laki mana pun di sepanjang hidupku. Sungguh, aku jomblo sejak lahir. Tunggu sebentar, sepertinya ingatanku sedikit salah. Rasanya ... aku pernah pacaran. Satu kali. Iya, hanya satu kali. Tidak lebih. Aku bersumpah. (Aku harus menarik pernyataanku sebelumnya yang mengatakan tidak pernah pacaran. Aku hampir melupakannya karena kejadiannya sudah lama sekali.)

Kejadiannya pas aku masih SMP dulu. Ada seorang teman sekelas yang mendekatiku di kelas 1 SMP. Bagian parahnya adalah kenyataan bahwa dia dan aku berbeda agama. Apa sih, yang aku pikirkan waktu itu? Bisa-bisanya sekali seumur hidup pacaran tapi malah beda agama!

Intinya, aku naksir karena senyuman manis si cowok. Kulitnya berwarna sawo matang. Setiap kali tersenyum, muncul lesung yang dalam di kedua pipinya. Bayangkan! Bukan hanya satu, tapi dua lesung! Tidak itu saja, laki-laki itu memiliki gigi gingsul di kedua sisi giginya yang selebihnya tersusun cukup rapi.

Perpaduan dua lesung di pipi dan dua gigi gingsul sangat tepat berada di wajah laki-laki itu, membuatku terpesona dan tak mampu mengalihkan pandanganku dari senyumnya. Aku jatuh cinta pada pandangan ke sekian.

Itu bukan jenis cinta pada pandangan pertama karena aku baru menyadari keberadaannya setelah dia menyapaku di kelas kami. Tepat setelah itulah aku mulai mengamati dirinya. Kami berasal dari sekolah dasar yang sama tapi tidak pernah satu kelas. Kemudian kami masuk ke SMP yang sama dan sekelas di tingkat pertama. Karena kami sudah saling mengenal, laki-laki itu menjadi rajin mengajakku mengobrol di kelas ketika waktu istirahat tiba (mengobrol di saat pelajaran masih berlangsung jelas adalah tindakan terlarang, berisiko dilempar penghapus papan tulis).

Ternyata dari obrolan-obrolan itu berubah menjadi ketertarikan satu sama lain. Suatu hari, pada waktu sepulang sekolah dan kami pulang jalan kaki bersama menuju rumahku (sebagai tambahan informasi, kami tinggal di kompleks perumahan yang sama tapi beda jalan, rumahnya berlokasi di Jalan Satu, sementara rumahku di Jalan Tujuh.

Di kompleks perumahan kami tiap jalan rumahnya diberi nama berdasarkan urutan angka, jalan yang paling dekat dengan pintu gerbang keluar diberi nama Jalan Satu, dan jalan yang paling jauh dari pintu gerbang keluar diberi nama Jalan Sepuluh. Jadi, memang urutannya dimulai dari Jalan Satu sampai Jalan Sepuluh. Lokasi rumahku lebih dekat dengan sekolah kami dibandingkan rumah laki-laki itu—SMP kami masih berada di dalam kompleks perumahan tempat kami tinggal, beserta TK, SD dan SMK dari yayasan perusahaan yang sama), tiba-tiba dia menghentikan langkah kakiku, lebih tepatnya aku berhenti berjalan karena dia juga berhenti.

“Ada yang mau aku bilang ke kamu,” katanya.

“Eh, ada apa?”

Lihat selengkapnya