Laki-laki itu adalah teman satu angkatan sekaligus teman satu jurusanku di ilmu kesejahteraan sosial. Kami sudah saling mengenal sejak semester pertama. Karena jumlah angkatan kami yang sedikit, kurang dari seratus orang, kampus mengatur kami untuk berada di kelas yang sama hingga tamat. Aku pun ditakdirkan sekelas dengan laki-laki itu hingga semester enam, semester terakhir yang masih memiliki mata kuliah.
Bagaimana awalnya kami bisa dekat? Sesederhana kami mendapatkan tugas kelompok dan ditempatkan di satu kelompok yang sama oleh dosen kami waktu itu. Tak ada ekspektasi apa-apa terhadap laki-laki itu pada awalnya. Kami saja saja layaknya teman sekelas di kampus yang kemudian mendapat tugas kelompok lalu mengerjakannya bareng di luar jam mata kuliah.
Namun, pada suatu hari, ada yang berbeda dari sikapnya. Setelah kami selesai mengerjakan tugas kelompok kami, dia mengajakku bicara sebentar. Aku pikir itu hanya sekadar basa-basi darinya. Tak disangka setelahnya dia justru mengajakku pergi minum kopi di kafe.
Aku sempat terdiam sejenak mencerna apa yang baru saja dia katakan. Serius? Dia mengajakku pergi nongkrong di luar kampus? Hanya kami berdua? Bukankah ini artinya bukan nongkrong? Tapi lebih ke kencan? Aku menepis semua khayalan di pikiranku.
Sadarlah, Arin! Dia cuma pergi mengajak kamu minum kopi. Percayalah tidak akan ada maksud lain atau aneh di baliknya. Mungkin hal yang sangat lumrah di kampus mengajak lawan jenis pergi jalan berdua tanpa ikatan spesial. Kita kan, bisa melakukannya sebagai teman. Iya, benar, teman kampus! Kami berdua jelas sekali adalah teman kampus, tak lebih.
Aku pun mengiyakan ajakannya, mungkin cukup sekali. Besok-besok aku akan mencari alasan untuk tidak pergi berduaan dengan sembarang cowok. Begini-begini harga diriku sangat tinggi. Tidak semua laki-laki mau aku terima ajakan perginya (padahal sebenarnya tak banyak juga yang mengajak selama ini).
Hm ... mungkin aku merasa kurang nyaman pergi dengan lawan jenis meskipun dia adalah teman kampusku sendiri. Sepanjang hidupku, laki-laki yang biasa menemaniku pergi ke mana-mana cuma kedua adik laki-lakiku, sementara aku jarang pergi keluar berdua dengan Ayah. It’s okay. Aku sudah terbiasa dan menerima hubungan kami yang memang kurang secara emosional.
“Kamu mau kita pergi ke kafe mana, Rik?” tanyaku sambil mengikuti langkah kaki laki-laki itu menuju lapangan parkir fakultas kami.
Dia menyebutkan satu nama tempat minum kopi terkenal yang cabangnya sudah merambah ke seluruh dunia.
“Bukannya kopi di situ harganya lumayan mahal buat anak kampus kayak kita?” komentarku, berharap dia mengganti pilihan ke tempat minum kopi yang lebih murah.