Pada hari Senin di minggu ini, aku memutuskan pergi ke kampus untuk menyerahkan hasil revisi skripsi yang sedang berjalan kepada dosen pembimbing. Untuk pertama kalinya, aku berada di luar rumah setelah mengenakan setelan pakaian syar’i yang pernah diberikan Ibu. Aku cukup merasa deg-degan, takut pandangan orang terhadapku berubah drastis. Nyatanya, ketika aku tiba di kampus, tak ada satu orang pun yang memperhatikan kehadiranku di sana. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, misalnya mengobrol bersama teman-teman atau fokus menatap layar laptop dan ponsel mereka secara bergantian.
Aku tidak lagi mengenali orang-orang yang berkeliaran di dalam kampus. Rata-rata mereka adalah adik tingkat. Sebenarnya, aku sendiri termasuk lambat mengurus skripsi. Sekarang aku sudah memasuki semester sepuluh, sebagian besar teman di angkatanku sudah tamat. Aku bahkan sempat mendatangi acara wisuda mereka di akhir semester delapan.
Laki-laki itu juga sudah menyelesaikan kuliahnya. Mungkin di semester sembilan lalu, seorang teman memberitahuku melalui pesan singkat. Siapa yang tidak tahu mengenai kedekatan kami? Semua teman seangkatan di jurusanku mengetahui hubungan kami yang tanpa status itu.
Memalukan.
Ya, kini aku baru merasa malu. Sementara dulu, aku merasa itu adalah sesuatu yang sangat wajar. Aku pikir waktu itu banyak orang yang menjalani hubungan tanpa status, aku hanyalah salah satu dari mereka.
“Masih ada yang perlu diperbaiki. Kamu bawa pulang lagi skripsi kamu, besok temui saya abis kamu perbaiki yang saya tandain ini ya,” ujar Dosen Pembimbing, Pak Yusuf.
Aku mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih banyak.”
Dan sesi bimbingan skripsiku hari itu berakhir hanya dalam waktu sepuluh menit di ruang dosen.
***