Sejenak, masalah tentang laki-laki itu lenyap dari pikiranku karena kesibukanku mempersiapkan diri mengikuti sidang skripsi di pertengahan bulan depan. Alhamdulillah, skripsiku telah di-ACC oleh kedua dosen pembimbing dan siap dipresentasikan di hadapan para dosen penguji nanti.
Aku gugup, tentu saja. Namun, bagaimanapun, aku harus siap menghadapinya. Tak boleh lemah, tak boleh menyerah. Aku sudah sampai di tahap ini, mana mungkin mundur begitu saja tanpa sebab yang jelas.
Aku hanya mengharapkan kelulusan, terlepas dari berapa nilai yang bakal kuperoleh nantinya, target aku sih minimal B. Kalau sampai dapat A, aku pasti bersyukur banget. Sebelum menghadapi sidang di bulan depan, aku telah mempelajari keseluruhan isi skripsiku dari A sampai Z. Aku berharap bisa menghafal detail isinya di luar kepala. Di mana pun aku berada, apa pun yang sedang aku lakukan, aku pasti menyempatkan menengok isi skripsiku untuk dihafal. Aku sudah memetakan pertanyaan-pertanyaan apa saja yang kira-kira bakal diajukan oleh dosen penguji. Meskipun prediksiku belum tentu akurat tetapi siapa tahu ada beberapa pertanyaan yang sesuai.
Aku menikmati setiap proses yang kujalani sebelum sidang skripsi. Patah hati tidak menghalangiku menyelesaikan kuliah. Semoga aku segera melupakan laki-laki itu.
Tak dapat kuhindari, ketika aku terdiam, melamun, termenung selama beberapa menit, bayangan wajah laki-laki itu sekilas melintas di benakku, suara beratnya menggema di telingaku. Aku membenci momen-momen itu dan berusaha menangkisnya dengan membaca ulang skripsiku.
“Ya Allah, tolong enyahkanlah dia dari pikiranku. Karena seharusnya, Engkau-lah yang pantas untuk hamba ingat dan pikirkan secara terus-menerus,” doaku sehabis salat isya malam itu.
***
Sidang skripsiku berjalan mulus meskipun nilai yang kuperoleh pas-pasan, hanya B, tanpa embel-embel tanda plus (+). Untung saja bukan tanda minus (-) yang menemani si B, itu lebih mengerikan.