Ini buruk. Sungguh-sungguh buruk.
Aku belum bisa melupakan laki-laki itu. Dia masih saja bercokol di ingatanku dan entah kapan enyahnya dari sana. Aku sudah mencoba, berusaha keras melupakan bayangan tentang dia. Hari-hariku selalu sibuk diisi dengan membuat kue pesanan.
Efek samping dari patah hati ini mulai kelihatan. Badanku menggemuk secara perlahan. Awalnya naik dua kilogram, lalu tiga kilogram, lima kilogram, hingga mencapai angka dua digit! Ibu pun menegurku, “Ya ampun, Arin! Kenapa badan kamu sekarang kayak gini? Kamu harus diet! Ibu udah bilang kan sama kamu siang-siang abis makan jangan langsung dibawa tidur. Malamnya kamu gitu juga, abis makan banyak, kamu malah golek-golek sebelum tidur. Kamu olahraga sana, lari pagi atau jalan kaki selama satu jam tiap hari. Harus seimbang jumlah yang dimakan sama energi yang dikeluarkan. Kalo nggak, bakalan jadi lemak. Ingat, Rin, kamu masih gadis, belum menikah. Jaga badan kamu.”
Stres karena patah hati menyebabkan diriku melampiaskannya ke makanan. Nafsu makanku tak terkontrol, aku suka sekali makan berlebihan. Sering kali perutku rasanya mau meledak karena keseringan mengunyah.
Apalagi aku sendiri berjualan kue, setiap kali membuat pesanan kue orang, aku suka menyisakan adonan untuk dimakan olehku sendiri. Tak satu kali pun aku melewati kesempatan itu. Apa saja camilan atau kue yang ada di rumah, pasti kulahap sampai habis.