Keesokan harinya Ibu menyampaikan kepadaku tentang dia yang tidak menyetujui perjodohan di antara kami. Walaupun aku sudah menduga hal itu, tetap saja tebersit sedikit rasa sakit di hatiku.
“Anaknya memang paham agama, tapi ngeliat tingkahnya langsung kemarin malam, duh sombongnya. Padahal wajahnya nggak ganteng, biasa aja. Lagaknya yang luar biasa! Kayak kamu datang buat ngejar-ngejar dia. Tanggapannya itu loh, ketus banget. Ekspresi mukanya juga sinis pas natap kamu. Depan Ibu aja dia pura-pura bertingkah sopan. Dalam hatinya mungkin Ibu pun kena disinisin,” omel Ibu.
“Sabar, Bu. Sabaaar …. Padahal yang ditolak Arin, loh. Tapi malah Ibu yang marah-marah.” Aku tertawa kecil lalu melanjutkan, “Arin nggak pa-pa kok. Namanya usaha. Kalo gagal, ya coba lagi lain waktu. Itu hak dia buat milih pasangan hidup yang dia suka. Kita nggak boleh maksa, entar kesannya malah kayak nggak punya harga diri.”
Karena Ibu marah-marah sambil berdiri, aku pun menggiringnya menuju kamarnya agar dia dapat duduk di atas kasur.
“Kan anaknya temen Ibu sendiri itu nggak ada ngejanjiin apa-apa sama kita. Itulah kenapa kita ketemu dulu sama dia kemarin, biar dia bisa menilai dan memilih. Arin juga menilai dia dan nggak mau sama dia. Bukan cuma dia doang yang nggak mau sama Arin.”
“Bener-bener, anak muda zaman sekarang, terutama laki-laki, banyak yang susah menjaga sikap baik di depan orang.”
“Ibu, dengerin Arin. Arin siap Ibu kenalkan sama anak temen Ibu yang lain. Yang penting, Ibu lupain masalah dia kemarin ya. Janji sama Arin, Ibu tetap berteman baik dengan teman Ibu.”