Benjiro mengembalikan surat undangan yang hanya dibacanya sekilas pada Manzila.
“Jadi juga mereka menikah.” Manzila menyebut sepasang kekasih yang merupakan teman sejawat Benjiro yang dikenalnya.
“Iya, syukurlah.”
“Mereka baru pacaran tiga bulan.” Manzila mulai memancing.
Benjiro tidak menyahut.
“Kita sudah satu tahun, Ben.”
Benjiro menatap sekilas wajah Manzila, kemudian mengalihkan mata pada keadaan di sekitarnya.
“Ben, Ila sudah siap, kalau kamu juga siap.” Manzila berkata lirih.
Benjiro menghela napas panjang. “Aku belum siap.”
Manzila tidak berkata lagi, ucapan Benjiro mematahkan semangat dan harapannya. Suasana indah restoran yang dikelilingi taman bunga menjadi kelabu. Mereka mengakhiri makan siang dengan kebisuan. Sepanjang jalan menuju kantor, hening masih menyelimuti.
“Ila....” Benjiro memanggil, ketika Manzila akan membuka pintu.
Manzila diam, matanya menatap lurus ke depan.
“Nanti sore, aku tidak bisa jemput. Kamu pulang naik taksi saja, ya?”