Masih menyimpan kantuk, mata Manzila terbuka sedikit dan menatap jam dinding. Dalam pandangan yang tidak sempurna, jarum jam menunjukkan angka empat. Ia pun kembali merapatkan kedua mata. Namun, tiba-tiba ia membuka kembali matanya, kemudian menatap jam berbentuk hati berwarna hijau cerah itu.
“Aahhhh!” Manzila terpekik pelan, tubuhnya bangkit lalu keluar dari selimut. Jarum pendek jam menunjuk angka enam. Yang dilihatnya tadi jarum panjang.
Ia hanya sempat mencuci wajah dan menggosok gigi. Setelah memakai baju kerja, ia pun mencari sisir yang entah di mana terselip. Sambil menggerutu, diraihnya laci meja hias paling bawah dan menarik satu kotak berisi sisir dan alat rias yang sudah tidak dipakai lagi. Hanya bagian atas rambut yang disisir, tidak ada waktu untuk menyisir rambutnya yang panjang hampir melewati pinggang. Pasmina berwarna krem diraihnya. Biasanya, ia paling suka berlama-lama memadankan pakaian dan hijab. Namun, kali ini waktunya tidak akan cukup. Hijabnya pasti serasi dengan rompi tanpa lengan berwarna krem. Baju hitam sepanjang lutut berlengan panjang tentu pas dipadu celana panjang berwarna senada.
Kembali mematut diri di cermin, ia memastikan wajahnya sudah terlihat cerah dan hijabnya telah rapi. Sambil meraih tas kerja, ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar kamar. Sebelum membuka pintu, sepatu hak tinggi dengan model boot diraihnya dari rak kecil yang berada di samping pintu keluar.
Terjebak di dalam kemacetan panjang, batin Manzila menggerutu kesal. Ia sudah terlambat, pimpinannya pasti akan memasang wajah kesal sepanjang hari.
Manzila membuka pintu dan keluar. Ia menatap barisan mobil yang diam sepanjang satu kilometer. Ia menghela napas kesal, lalu kembali masuk ke mobil. Setelah dua jam, akhirnya mobil Manzila bisa bergerak dan meluncur cepat.
Sesampai di kantor, hati Manzila agak ciut saat menghadap kepala divisi. Dengan menguatkan hati, ia mengetuk pelan pintu ruangan Pak Siswo. Suara berat pimpinan menyuruhnya masuk. Ia pun meraih gagang pintu dan memutarnya.
“Ah, akhirnya kamu sampai juga. Ayo, masuk.”
Pintu yang dibuka Manzila menghadirkan wajah cerah pak Siswo. Bayangan wajah manyun pimpinannya segera pudar. Semangat pak Siswo bercerita menghilangkan kecut di hati Manzila.
Lelaki itu mengatakan tentang produk baru yang akan dibeli perusahaan dari Jepang, dan sudah disetujui oleh pemerintah. Pimpinannya yang kurus tinggi dengan rambut berwarna putih itu berbicara sangat cepat. Perusahaan mereka diizinkan membeli salah satu produk kecantikan yang saat ini sedang naik daun di negara matahari terbit. Dada Manzila mendesah lega.
**********
Tidak ada senyum yang biasa diberikan Manzila saat Benjiro menjemput. Wajahnya masih ditekuk, ketika tiba di salah satu restoran favorit mereka. Sikapnya yang membisu membuat suasana menjadi tidak enak.
“Ila minum jus saja.” Manzila menyerahkan daftar menu pada Benjiro.
“Kamu tidak makan?”
Manzila hanya menggeleng.
Benjiro juga tidak selera untuk makan. Ia memesan dua minuman pada pelayan yang berdiri di depannya. Setelah pemuda yang mengambil pesanan berlalu, matanya tertuju pada kekasihnya. Manzila menatap Benjiro yang juga sedang menatapnya. Ia harus tegas hari ini, lelaki tampan bertubuh tegap yang telah satu tahun bersamanya ini harus memberikan sebuah keputusan. Sudah banyak isyarat diberikannya, sebagai tanda agar Benjiro mau melamarnya.