Meriah sekali acara pernikahannya. Seluruh anggota keluarga hadir. Ayah dan Mamak tersenyum gembira mengapit dirinya dan Benjiro. Saat menatap kekasih yang telah resmi menjadi miliknya, perasaannya diselimuti kebahagiaan.
Praaaaanggg!!!
Seorang pelayan yang membawa piring menjatuhkan seluruh bawaannya. Ujung baju lelaki muda itu tersangkut pada kayu bunga hias yang berdiri tegak di tengah ruangan. Tubuhnya yang oleng tidak mampu menahan beban di tangan.
Suasana menjadi gaduh. Semua tamu mendekati pemuda tersebut, mereka ingin mengetahui apa yang terjadi. Benjiro pun turun dari kursi, lalu melangkah mendekati kerumunan. Manzila hanya terpaku, matanya tertuju pada kekasihnya. Setelah satu demi satu orang kembali pada posisi masing-masing, ia melihat suaminya masih di sana dengan mata sayu menatap dirinya.
“Ben! Jangan pergi!” Manzila berteriak saat tangan Benjiro melambai. Dalam sekejap, sosok lelaki yang sangat dicintainya perlahan menghilang.
Manzila merasa dadanya sesak, panas menguasai seluruh tubuh. Ia tersentak bangun, dan matanya menatap keadaan di sekeliling. Wajah yang berpeluh diusapnya, sambil beristighfar. Ah, ternyata hanya mimpi. Karena lupa untuk menghidupkan penyejuk ruangan, kamarnya menjadi gerah, hingga hawa panas yang menyelimuti membuatnya kepanasan dan berpeluh. Ketika menatap jam dinding yang menunjukkan angka dua, ia pun segera beranjak. Biasanya, jadwal rutin shalat malam yang dikerjakan telah membuat tubuhnya terbangun secara spontan. Namun kali ini, ia terbangun karena mimpi.
Setelah sholat, ia mencoba untuk kembali tidur dengan memejamkan mata. Namun, sesaat kemudian, matanya terbuka lagi, dan menatap langit-langit kamar. Ia tidak percaya pada mimpi, tetapi kepergian Benjiro di dalamnya meresahkan hati dan pikirannya.
“Hhhhh. Semoga saja mimpiku bukanlah pertanda buruk.” Batinnya mendesah resah.
Kehilangan Benjiro di dalam mimpi hanyalah sebuah mimpi. Sebentar lagi, kekasihnya akan membawa orang tua ke kampung untuk menemui Ayah dan Mamak. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Berulang kali ia meyakinkan diri dan keyakinan itu perlahan memudarkan kegelisahan. Matanya kembali tertutup. Ia akan tidur sekejap, sebelum waktu sahalat shubuh memanggil.
**********
Salah satu kantor di gedung perkantoran yang megah menjadi tujuan Manzila. Kehadirannya disambut seorang lelaki yang bertugas sebagai keamanan. Lelaki separuh baya itu sudah mengenalinya, sehingga tanpa bertanya langsung mengawal dirinya menuju lantai tiga. Sekretaris Benjiro telah menunggu kedatangannya. Wanita cantik berpenampilan modis itu berdiri dan tersenyum menyambutnya. Kemudian, ia membuka pintu ruangan yang berada di samping meja kerjanya.
Sembari duduk di sofa yang lembut, Manzila memeriksa email di ponsel pintar. Setiap waktu yang bisa digunakan akan dimanfaatkannya untuk bekerja. Saat menunggu pun bisa digunakannya, sambil bekerja. Belum lima menit berlalu, seorang lelaki mengetuk pintu, kemudian pintu terbuka. Wajah teman dekat Benjiro tersenyum. Lelaki itu melangkah masuk, seraya menutup pintu.
“Ada perlu sama saya, Ila?” lelaki kurus berwajah manis itu duduk di samping Manzila.
“Saya mau jumpa, Ben.”
Lelaki itu terdiam, kerutan tanda keheranan menghiasi dahinya. Tentu saja ia merasa aneh. Sudah dua hari Benjiro tidak bekerja, tetapi calon istrinya tidak tahu di mana lelaki itu berada. Bagaimana ia akan mengatakan keberadaan Benjiro, jika ia pun tidak mengetahuinya?
Setiap kata yang meluncur dari lelaki berkaca mata itu membuat Manzila tertegun, tubuhnya menjadi lemas dan matanya berkaca-kaca. Dengan menguatkan perasaan, ia berusaha bangkit dan berdiri tegak. Tanpa bicara lagi, ia pun berlalu dari lelaki yang merupakan sahabat baik Benjiro.
**********
Wajah sembab Manzila yang muncul di depan rumah mengejutkan Sonya. Belum sempat bertanya, tubuhnya dirangkul erat bersama sedu sedan. Cairan bening yang mengalir deras membasahi bajunya. Ia tidak mengerti dengan setiap kata yang meluncur dari bibir sahabatnya. Sejenak, ia hanya terdiam, kemudian menenangkan dengan suara pelan dan lembut.