Satu jam lagi, pesawat akan membawanya ke Medan. Sonya sekeluarga dan beberapa teman kantor menemaninya di bandara.
“Tidak usahlah diantar. Aku cuma cuti dua minggu.” Manzila mencegah, ketika teman-temannya bersemangat menyampaikan bahwa mereka akan mengantar. Ia khawatir mereka terjebak kemacetan panjang yang selalu mewarnai ibu kota.
Tetapi, mereka semua bersikeras. Mereka takut, tidak akan melihat Manzila lagi. Jika wanita itu tidak kembali lagi, mereka tentu tidak akan menyesal karena telah melihat wanita itu untuk berpisah.
“Aduh....., kalian ini, ada-ada saja. Aku pasti ke mari lagi. Kerjaku di sini, bersama kalian.” Manzila meyakinkan. Namun, mereka telah menunggunya di bandara.
Manzila menyalami satu demi satu teman kerja dan juga bawahannya di kantor. Matanya berkaca-kaca, ia tidak suka terlihat cengeng di depan mereka. Hanya saja, ia tidak bisa menyimpan kesedihan dan rasa haru. Mereka ternyata menyayanginya, meski ia di kantor terkenal sebagai atasan yang suka ngomel dan marah-marah.
Sikap Manzila di kantor sangat di pahami oleh teman-temannya. Wanita itu menjalankan tugasnya sebagai atasan dan harus bersikap profesional di tempat kerja. Lagipula, marah-marahnya hanya tertuju pada karyawan yang melakukan kesalahan. Sebelum melangkah memasuki ruang menuju pesawat, ia menoleh dan menatap semua teman yang melambaikan tangan.
Selama di dalam pesawat, hati Manzila membuncah gembira membayangkan akan bertemu kembali dengan Mak Wo Nunun dan Pak Wo Hasan. Sudah dua tahun ia tidak bertemu dengan kedua orang tua yang banyak berjasa dalam hidupnya. Selama pelariannya dari desa, mereka telah menjadi pengganti Ayah dan Mamak.
Setelah dua jam lebih duduk di kelas bisnis, pesawat yang mmebawa Manzila mendarat di Bandara Kuala Namu Medan. Kedatangannya disambut dengan pelukan dan linangan air mata Mak Wo Nunun. Wanita yang beberapa tahun lebih tua dari ibunya, terlihat segar dan sehat dalam balutan gamis, serta memakai hijab syari. Ia mengambil tangan kanan Pak Wo Hasan dan melekatkannya di dahi. Keadaan lelaki itu sangat berbeda dari dua tahun yang lalu, tubuh kurusnya sering terguncang akibat batuk yang diderita. Sudah dua bulan penyakit paru-paru menderanya, hingga membuatnya semakin ringkih.
“Nabila nggak bisa jemput, dia lagi cari tempat untuk pesan catering. Anwar lagi nunggu di mobil.” Mak Wo berucap, sebelum mereka melangkah menuju tempat parkir.
Melihat kedua orang tua dan adik sepupunya melangkah menuju mobil, Anwar keluar dari mobil, sembari tersenyum mendekati mereka.
“Apa kabar, Bang?” Manzila menyalami abang sepupunya itu.
“Sehat kalilah, Abangmu ni. Kau, apa kabarmu? Masih kerja di tempat yang lama, kan?”
“Ya, masihlah, Bang. Ke mana lagi aku kerja?” Manzila tertawa pelan.